Sabtu, 04 Juli 2009

TENTANG SERTIFIKASI GURU

Pelaksanaan pendidikan selama ini malah menjadi sumber masalah daripada potensi pemecahan masalah. Kritikan pedas ini ditulis Winarno Surakhmad sebagai jawaban atas kasus pendidikan di Indonesia. Dalam benak sebagian dari kita masih bersarang virus kependidikan yang lebih gemar melihat ke belakang dan mengukur keberhasilan dari pencapaian masa lalu, bukan dengan potensinya yang relevan terhadap tantangan masa mendatang. Visi pendidikan bagi orang seperti itu adalah pendidikan yang berusaha menciptakan pemasungan bangsa yang direduksi menjadi bonsai sama sebangun dalam nalar, aspirasi, sikap, dan tutur kata bahkan dalam mimpi mereka. Hal ini seolah mewakili suara kritis sebagian pelaku pendidikan lainnya tentang problematika yang dihadapi oleh dunia pendidikan di Indonesia. Produk pendidikan Indonesia yang berkualitas rendah, berdaya pikir seragam, dan tidak mampu menjadikan dirinya sebagai tuan atas tubuhnya sendiri.

Meskipun demikian, pemerintah menjawabnya dengan rendah hati dan pasti yaitu salah satunya adalah sertifikasi guru. Ketika sertifikasi guru mulai direalisasikan, saya kira angin segar sedang mendesir ke wajah-wajah kaum oemar bakri di seantero negeri ini. Ada senyum di balik keringat mereka yang menyusun portofolio atau yang sedang mengikuti diklat sertifikasi. Ada harapan baru yang memungkinkan anak-anak mereka bermimpi punya mainan baru atau sekadar menenteng kado saat menghadiri pesta ulang tahun anak tetangga. Juga banyak kegembiraan lain yang menyertai kehadiran sertifikasi sebagai oase di gurun yang luas.

Namun, apakah sertifikasi hadir hanya untuk memenuhi kesejahteraan? Ataukah ada segudang harapan dalam cita-cita pendidikan yang lebih mulia dengan menimbang profesionalisasi kerja dan misi mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tertuang dalam UUD 45? Saya kira Anda akan sepakat bila saya mengatakan bahwa sertifikasi bukan pemenuhan atas tuntutan kesejahteraan guru selama ini. Ia tidak hadir percuma sebagai imbalan atas usia kerja dan pengabdian pahlawan tanpa tanda jasa. Sebab 20% anggaran pendidikan dan sertifikasi menuntut situasi berbeda dari sekedar latihan baris-berbaris dan hafalan lagu Indonesia Raya. Pertanyaannya adalah seperti apa para guru menafsirkan sertifikasi atau hanya dianggap sebagai kompensasi atas jasa yang tidak pernah diberi tanda?

Soalan yang kemudian muncuat adalah, adakah yang berbeda dari segi materi, metode atau strategi dan evaluasi belajar dari para guru yang sudah disertifikasi? Apa bentuk profesi yang dititipkan program sertifikasi sehingga guru patut menenteng sertifikat yang memungkinkannya menerima dua kali gaji dasar? Adakah patron yang jelas untuk mengukur perubahan sikap mengajar guru untuk mengecek kemajuan yang membedakannya dari mereka yang sedang menanti giliran disertifikasi?

Sikap skeptis ini bukan tanpa alasan. Cermatilah dengan baik berapa guru yang sesungguhnya memiliki kuantitas lebih dalam mengikuti seminar atau pelatihan relevan lalu bandingkan kualitas serapan pengetahuan dari kegiatan semacam itu. Atau jangan-jangan piagam penghargaan, karya tulis ilmiah, penelitian tindakan kelas dan atau berkas lainnya yang disertakan dalam portofolio malah sama asingnya dengan tujuan utama sertifikasi itu sendiri?

Ini hanya sekadar kegelisahan pribadi dan bukan upaya menghalang-halangi niat baik pemerintah dalam membangun pencitraan dirinya. Meski monitoring dan evaluasi program perlu dilakukan agar dapat kita mengambil simpulan yang jelas sebagai landasan keberlanjutan program. Karena lepas dari ini semua, batasan tentang profesionalisme dan rambu-rambu evaluasinya sedapat mungkin selaras dengan angin segar yang mengendus di balik senyum guru-guru kita.

Tapi apapun itu, kalau kesejahteraan guru diabaikan maka kualitas pendidikan digadaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar