Sabtu, 04 Juli 2009

Masyarakat Tidak Membaca

Dalam Anugerah SEA Write Award 1997, Seno Gumira Ajidarma menyampaikan pidato yang pelan dan tajam sebagai bentuk renungan yang patut kita apresiasi. Katanya, “Saya berasal dari sebuah negeri yang resminya sudah bebas buta huruf, namun yang bisa dipastikan masyarakatnya sebagian besar belum membaca secara benar – yakni membaca untuk memberi makna dan meningkatkan nilai kehidupannya. Masyarakat kami adalah masyarakat yang membaca hanya untuk mencari alamat, membaca untuk mengetahui harga-harga, membaca untuk melihat lowongan pekerjaan, membaca untuk menengok hasil pertandingan sepakbola, membaca karena ingin tahu berapa persen discount obral di pusat perbelanjaan, dan akhirnya membaca subtitle opera sabun di televisi untuk mendapatkan sekadar hiburan.”

Tidak berlebihan bila saya mengatakan bahwa apa yang disampaikan Seno adalah tentang kita sendiri. Tentang perhatian kita yang selalu lebih tertuju pada hal-hal pragmatis dan instan dalam hidup dan sama sekali tidak berupaya meningkatkan nilai mutu diri sebagai manusia berpengetahuan.

Di sini, di Sulawesi Tenggara, kita menghadapi hal yang nyata dan gamblang bahwa membaca - dalam arti sesungguhnya- bukan satu kebutuhan mendasar dalam pergaulan. Lihat para remaja kita yang merengek minta hp dan sama sekali tak pernah merasa kurang bila tak punya buku. Tengok kamar para aktivis mahasiswa atau pelajar secara umum berapa jumlah koleksi buku mereka dibanding perlengkapan kecantikan dan koleksi pakaian distro yang disusun rapi di meja rias dan di lemari pakaian. Dan terutama, seberapa sering intensitas kita dalam kegitan bedah buku dibanding diskusi tentang caleg dan segudang kampanye tim sukses yang saya kira bahkan kurang paham politik secara metodologis.

Di kampus-kampus, yang seharusnya bertanggung jawab menjaga stabilitas keilmuan dan garis akhir penentu kualitas generasi, tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai corong akademik karena mahasiswanya lebih cenderung jadi makelar demonstrasi yang sibuk mengurusi pemenang tender proyek dan dukungan gonta-ganti pejabat di eselon tertentu di daerah ini. Aneh bin ajaib, keadaan ini –bagi kita- sama sekali dianggap bukan sebagai apa-apa bahkan tetap merasa memang tidak sedang terjadi apa-apa.

Ada banyak contoh, misalnya para pelajar SMP maupun SMU yang menghadapi ujian akhir sama sekali tidak pernah merasa gelisah tentang materi pelajaran yang akan diujikan. Mereka rata-rata panik dan bingung siapa yang harus dihubungi untuk mengirimkan kunci jawaban melalui pesan pendek. Juga sedikit sekali kekaguman dari para pelajar kita tentang prestasi peserta olimpiade sains karena mereka lebih mengagumi grup band baru atau pesinetron muda yang segera diikuti dengan trend mode baik pakaian maupun gaya rambut.

Para pelajar kita tetap biasa-biasa saja bila catatan guru pada rapor mereka adalah kritikan atau nasehat bahkan mereka cenderung tidak ingin memperlihatkannya pada orang tua atau wali. Sekarang dan sampai kapanpun keadaan ini akan terus berjalan karena sesungguhnya yang tidak ada pada kita adalah kesadaran akan hidup bermakna tadi. Dan yang lebih parah adalah bahwa mereka tetap merasa telah memiliki segalanya.

Adakah pertanyaan yang patut kita jawab?



anto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar