Sabtu, 04 Juli 2009

SIMBOL MALIGE

NILAI DAN MAKNA SIMBOLIS ISTANA MALIGE BUTON

Potensi Kebudayaan di Sulawesi Tenggara memang tiada duanya, namun pada kesempatan ini, opini yang bernuansa penelitian ini, hanya dibatasi pada makna simbolis Istana Malige di Buton. Peninggalan dari Peradaban Buton masa lampau, sungguh memukau dan beraneka ragam. Tidak mengherankan jika banyak orang berkeinginan untuk mengenal Buton lebih dekat, baik secara harfiah, ilmu pengetahuan, pemerintahan, politik dll. Pada kebutuhan batin seseorang dalam rangka proses kehidupannya, ingin mendalami dan mempelajari ilmu tauhid dan agama Islam tarekat yang terkenal itu. Dan sebaliknya banyak pula orang, kelompok, bangsa dan sindrom yang sengaja ingin menghancurkan serta memfitnah Buton sekaligus membunuh karakter manusianya.
Daerah seribu pulau, seribu benteng dan istilah seribu lainnya, adalah julukan Pulau Buton yang secara geografis terletak pada garis lintang dari utara ke selatan antara 20⁰30’ - 125⁰ Bujur Timur, merupakan kawasan timur jazirah tenggara Pulau Celebes/Sulawesi.
Menurut referensi serta pengakuan sejarah dari berbagai sumber, Kerajaan/Kesultanan Buton merupakan wilayah otonom dan merupakan kawasan mandiri yang memiliki keistimewaan tersendiri. Karakter budaya dan pola pikir dari masyarakatnya yang cerdas, inovatif serta mampu bertahan adalah dasar mengapa mereka pandai berdiplomasi, berwatak keras, dan cerdik sehingga jangan diherankan apalagi sampai dipolemikkan bahwa; “Di masa lalu, Kerajaan/Kesultanan Buton, tidak pernah tunduk dan dikuasai, apalagi terjajah oleh bangsa manapun di dunia dan kerajaan lain di nusantara”. Jika dikatakan kerjasama/hegemoni dengan bangsa atau kerajaan lain, Buton melakukannya, karena memang tipe kerajaan ini terbuka pada siapapun dan kebersahajaannya yang selalu ingin bersahabat, menolong dan bermitra dalam berbagai bidang adalah keutamaan dan kewajiban kerajaan, demi menciptakan kesejahteraan dan keamanan masyarakatnya.
Ibarat prasasti dan goresan profil pada candi-candi di Jawa, yang mengisahkan berbagai hal dan peristiwa, sesuai yang tertuang dalam Babad Tanah Jawi, Buton pun memiliki kisah yang tak kalah menariknya. Eksistensi dari nilai-nilai serta kearifan budaya dan peradaban Buton masa lalu, masih dapat disaksikan pada persebaran lambang/simbol maupun rangkaian ragam hias di berbagai pelosok kadie/kerajaan-kerajaan kecil yang mengakui keberadaan Kerajaan/Kesultanan Buton. Wilayah 72 (tujuh puluh dua) kadie terletak di seluruh kepulauan dan daratan Buton. Kini kadie menjadi referensi dan oleh para ahli arkeologi; wilayah kadie dikategorikan sebagai situs pemukiman sekaligus sebagai bukti konkret bahwa Buton masa lalu memang Raya dan Jaya.
Seluruh lambang atau simbol dimaksud, melekat cantik di berbagai benda/artefak peninggalan Kerajaan/Kesultanan Buton. Salah satu benda yang kaya akan makna simbolis baik konstruktif maupun dekoratif itu adalah Kamali/Istana Malige.
Kamali/Istana Malige (berarti pula Mahligai) adalah salah satu dari peninggalan arsitektur tradisional Buton. Dapatlah dikatakan sebagai hasil dan kekayaan dari proses budaya (cultural process). Dalam hal ini Kamali/Istana Malige merupakan sebuah artefak yang keberadaannya dapat mengungkap berbagai sistem kehidupan masyarakat pendukungnya, baik itu mengenai sistem sosial maupun kepercayaan (religi) yang masih bertahan hingga sekarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, fungsi dan makna simbolis pada bangunan tersebut dipengaruhi oleh pemahaman masyarakat secara keseluruhan tentang konsep tasawuf, yang menganggap bahwa pemilik kamali/istana Malige, dalam hal ini Sultan adalah replikasi dari wajah Tuhan (Allah) yang wujudnya dianalogikan dalam bentuk arsitektur rumahnya (istananya) baik yang bersifat konstruksi maupun dekorasi.
Bentuk lantai dan atapnya yang bersusun menunjukkan kebesaran dan keagungan Sultan. Bentuk tersebut juga menggambarkan fungsi Sultan sebagai pimpinan agama, pimpinan kesultanan serta pengayom dan pelindung rakyat. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh beberapa ahli tafsir/hadist yang mengarah pada sabda Nabi Muhammad, SAW yang termuat dalam tafsir Kanzil-Umal. Hadist ini mempertegas tentang fungsi dan tanggung jawab Sultan sebagai amiril mu’minin.
Istana Malige, kamali dan atau rumah masyarakat biasa di Buton pada dasarnya adalah sama sebab berasal dari satu konstruksi yang sama yang disebut banuwa tada. Di katakan istana/kamali jika bangunan tersebut di huni oleh pejabat kerajaan/kesultanan, dengan menambahkan tiang penyangga di setiap sisi bangunan, berfungsi konstruksi yang disebut kambero (kipas), lengkaplah disebut kamali karena disebut banua tada kambero, inilah yang membedakannya dengan rumah masyarakat biasa yang cukup disebut dengan banua tada.
Satu hal yang menarik pada rumah pejabat kerajaan/kesultanan dengan masyarakat biasa adalah peninggian lantai rumah yang berbeda-beda, peninggian lantai setiap ruangan ini merupakan pola awal konstruksi yang sudah menjadi aturan pokok jika ingin membangun sebuah rumah di Buton. Ruangan semakin ke belakang semakin tinggi sama dengan badan perahu antara haluan dan buritan atau posisi sujud dalam shalatnya seorang Islam. Sedangkan pembagiannya tergantung luas dan besar bangunan. Untuk fungsi dapur dan WC harus terpisah dengan induk bangunan, dan susunan lantainya lebih rendah dari lantai bangunan utama.
Pada Kamali/Istana Malige bangunan untuk dapur dan WC dibangun terpisah dan hanya dihubungkan oleh satu tangga. Dapur dan WC secara simbolis adalah dunia luar yang keberadaannya jika dianalogikan pada tubuh manusia adalah pembuangan. Tampak bangunan terbagi 3 (tiga) sebagai ciri 3 (tiga) alam kosmologi yakni, alam atas (atap), alam tengah atau badan rumah dan alam bawah atau kaki/kolong. Masing-masing bagian tersebut dapat diselesaikan sendiri-sendiri tetapi satu sama lain dapat membentuk suatu struktur yang kompak dan kuat dimana keseluruhan elemennya saling berkaitan dan berdiri di atas tiang-tiang yang menumpu pada pondasi batu alam, dalam bahasa Buton disebut Sandi.
Sandi tersebut tidak ditanam, hanya diletakkan begitu saja tanpa perekat. Sandi berfungsi meletakkan tiang bangunan, antara sandi dan tiang bangunan diantarai oleh satu atau dua papan alas yang ukurannya disesuaikan dengan diameter tiang dan sandi. Fungsinya untuk mengatur keseimbangan bangunan secara keseluruhan. Penggunaan batu alam tersebut bermakna simbol prasejarah dan pemisahan alam (alam dunia dan alam akherat)/ konsep dualisme, walaupun sebenarnya jika ditinjau dari fungsinya lebih bersifat profan.
Konstruksi lainnya adalah balok penghubung yang harus diketam halus adalah penggambaran budi pekerti orang beriman, sebagai analogi bagi penghuni istana.
Makna simbolis pada konstruksi Kamali/Istana Malige diantaranya adalah:
1. Atap yang disusun sebagai analogi susunan atau letaknya posisi kedua tangan dalam shalat, tangan kanan berada di atas tangan kiri. Pada sisi kanan kiri atap terdapat kotak memanjang berfungsi bilik atau gudang. Bentuk kotak tersebut menunjukkan adanya tanggung jawab Sultan terhadap kemaslahatan rakyat.
2. Balok penghubung yang harus diketam halus adalah penggambaran budi pekertinya orang beriman, sebagai analogi bagi penghuni istana,
3. Tiang Istana dibagi menjadi 3 (tiga) yang pertama disebut Kabelai (tiang tengah), disimbolkan sebagai ke-Esa-an Tuhan yang pencerminannya diwujudkan dalam pribadi Sultan. Kabelai ditandai dengan adanya kain putih pada ujung bagian atas tiang. Penempatan kain putih harus melalui upacara adat (ritual) karena berfungsi sakral. Kedua adalah tiang utama sebagai tempat meletakkan tada (penyangga). Bentuk tada melambangkan stratifikasi sosial atau kedudukan pemilik rumah dalam Kerajaan/Kesultanan. Tiang lainnya (ketiga) adalah tiang pembantu, bermakna pelindung, gotong royong dan keterbukaan kepada rakyatnya. Ketiga tiang ini di analogikan pula sebagai simbol kamboru-mboru talu palena, atau maksudnya ditujukan kepada tiga keturunan (Kaomu/kaum) pewaris jabatan penting yakni Tanailandu, Tapi-Tapi dan Kumbewaha.
4. Tangga dan Pintu mempunyai makna saling melengkapi. Tangga depan berkaitan dengan posisi pintu depan, sebagai arah hadap bangunan yang berorientasi timur-barat bermakna posisi manusia yang sedang shalat. Pemaknaan ini berkaitan dengan perwujudan Sultan sebagai pencerminan Tuhan yang harus dihormati, dan secara simbolis mengingatkan pada perjalanan manusia dari lahir, berkembang dan meninggal dunia. Berbeda dengan tangga dan pintu belakang yang menghadap utara disimbolkan sebagai penghargaan kepada arwah leluhur (nenek moyang/asal-usul).
5. Lantai yang terbuat dari kayu jati melambangkan status sosial bahwa sultan adalah bangsawan dan melambangkan pribadi sultan yang selalu tenang dalam menghadapi persoalan.
6. Dinding sebagai penutup atau batas visual maupun akuistis melambangkan kerahasian ibarat alam kehidupan dan alam kematian. Dinding dipasang rapat sebagai upaya untuk mengokohkan dan prinsip Islam pada diri Sultan sebagai khalifah.
7. Jendela (bhalo-bhalo bamba) berfungsi sebagai tempat keluar masuknya udara. Pada bagian atasnya terdapat bentuk hiasan balok melintang memberi kesan adanya pengaruh Islam yang mendalam. Begitu pula pada bagian jendela lain yang menyerupai kubah. dll
Makna simbolis pada dekorasi Kamali/Istana Malige terbagi dua yakni yang berbentuk hiasan flora dan fauna, diantaranya adalah:
1. Nenas merupakan simbol kesejahteraan yang ditumbuhkan dari rakyat. Secara umum simbol ini menyiratkan bahwa masyarakat Buton agar mempunyai sifat seperti nenas, yang walaupun penuh duri dan berkulit tebal tetapi rasanya manis.
2. Bosu-bosu adalah buah pohon Butun (baringtonia asiatica) merupakan simbol keselamatan, keteguhan dan kebahagiaan yang telah mengakar sejak masa pra-Islam. Pada pemaknaan yang lain sesuai arti bahasa daerahnya bosu-bosu adalah tempat air menuju pada perlambangan kesucian mengingat sifat air yang suci.
3. Ake merupakan hiasan yang bentuknya seperti patra (daun). Pada Istana Malige Ake dimaksudkan sebagai wujud kesempurnaan dan lambang bersatunya antara Sultan (manusia) dengan Khalik (Tuhan). Konsepsi ini banyak dikenal pada ajaran tasawuf, khususnya Wahdatul Wujud.
4. Kamba/kembang yang berbentuk kelopak teratai melambangkan kesucian. Karena bentuknya yang mirip pula matahari, orang Buton biasa pula menyebutnya lambang Suryanullah (surya=matahari, nullah=Allah). Bentuk ini adalah tempat digambarkannya Kala pada masa klasik, dan merupakan pengembangan Sinar Majapahit pada masa Pra Islam di Buton,
5. Terdapatnya Naga pada bumbungan Atap, melambangkan kekuasaan, dan pemerintahan. Naga adalah Binatang Mitos yang berada di Langit, bukan muncul dari dalam Bumi. Keberadaan Naga mengisahkan pula asal-usul bangsa Wolio yang diyakini datang dari daratan Cina.
6. Terdapatnya Tempayan berlambangkan kesucian. Tempayan ini mutlak harus ada di setiap bangunan kamali maupun rumah rakyat biasa.

Kamali/Istana Malige dalam penataan struktur bangunannya, didasari oleh konsep kosmologis sebagai wujud keseimbangan alam dan manusia. Di sisi lain keberadaannya merupakan media penyampaian untuk memahami kehidupan masyarakat pada zamannya (kesultanan) dan sebagai alat komunikasi dalam memahami bentuk struktur masyarakat, status sosial, ideologi dan gambaran struktur pemerintahan yang dapat dipelajari melalui pemaknaan lambang-lambang, simbol maupun ragam hiasnya secara detail.
Sangat disayangkan jika keberadaan bangunan maupun pemaknaan simbol tersebut cenderung diabaikan. Contoh kasus adalah banyaknya bangunan rumah/gedung permanen (batu dan semen) di lokasi Situs Benteng Keraton Buton dan situs benteng lainnya di daerah ini yang jelas menyalahi konsep pelestarian. Kasus lain adalah keberadaan dari replika rumah adat Malige di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, menyalahi citra/image, karena bangunan tersebut telah dipadupadankan dengan rumah etnis lain selain Buton, yang seharusnya di bangun secara terpisah agar Identitas dan keragaman khasanah rumah adat tradisional di Sulawesi Tenggara itu semakin jelas, bukan malah samar-samar.
Kasus lain yang lebih aneh adalah pengkarakteran simbol Naga di Pantai Kamali Kota Bau-Bau, yang seharusnya Naga merupakan simbol binatang langit, bukan simbol binatang bumi. Mari kita semua membuka jendela hati, dengan tetap berpedoman pada nilai-nilai dan kearifan budaya lokal, terutama dalam pemaknaan simbolis, baik itu lambang maupun ragam hias, sebagai karya monumental para leluhur yang masih tetap mengawasi tindak tanduk anak cucunya di dunia.
Sebagai penutup, saya mengutip pernyataan Leslie White bahwa sesungguhnya manusialah satu-satunya mahluk yang dapat dibunuh dengan sebuah simbol.

La Ode Ali Ahmadi
Staf Arkeologi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Tenggara

BUDAYA

POTENSI KEBUDAYAAN SULTRA
ALTERNATIF DESTINASI PARIWISATA INDONESIA YANG TERTUNDA

Masyarakat awam mengetahui wujud kebudayaan lokal berkaitan dengan kesenian, adat kebiasaan, dan tradisi berupa nilai – nilai positif yang mewarnai kehidupan pada masyarakat di suatu daerah.
Secara implisit mereka telah memahami bahwa wujud kebudayaan tersebut berkenaan dengan ide-ide/gagasan, norma, nilai, dan peraturan yang terungkap melalui atraksi seni budaya. Namun, masih banyak dari kita yang belum sadar akan jumlah benda-benda cagar budaya (artefak), seperti benda materi, lokasi yang mengandung atau diduga Benda Cagar Budaya (BCB), dan lingkungannya (situs) adalah wujud dari kebudayaan. Hal inilah yang merupakan spesifikasi bidang kajian ilmu arkeologi.
Pemerintah daerah dan masyarakat Sulawesi Tenggara seharusnya merasa bangga karena daerah ini memiliki beragam potensi atau peninggalan kebudayaan. Sesuai akumulasi data yang terhimpun berdasarkan keragaman lima etnis besar di Sultra (Buton, Muna, Tolaki, Wakatobi dan Moronene) maka dapat disimpulkan bahwa potensi yang dimaksud terdiri dari; (1) Upacara tradisional yang diatraksikan misalkan pada saat pesta panen, pesta perkawinan, pesta kematian, bangun rumah, peringatan hari besar Islam, upacara pingitan, dan upacara lainnya berjumlah 55 jenis; (2) Ceritera rakyat/folklor sebagai cerita yang diwariskan secara turun-temurun berjumlah 76 jenis; (3) Permainan tradisional berjumlah 61 jenis; (4) Tarian tradisional berjumlah 30 jenis; dan (5) Lagu-lagu berbahasa daerah khas Sultra berjumlah 38 jenis.
Data Potensi selanjutnya berdasarkan UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang tersebar pada ratusan situs di wilayah kabupaten dan kota se-Sulawesi Tenggara. Berdasarkan keragaman potensi tersebut maka pada kurun waktu tahun 2000 hingga 2006, Pusat Data dan Informasi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI, telah mencatat dan melaporkannya dalam bentuk buku yang berjudul “Statistik Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia”. Dijelaskan bahwa Sulawesi Tenggara merupakan provinsi kedua yang memiliki situs terbanyak dari 30 provinsi di Indonesia setelah D.I Yogjakarta.
Banyaknya situs yang sangat fantastik, sesuai dengan data statistik yang terdiri atas; 595 situs, 175 situs di antaranya dipelihara dan dilengkapi dengan 270 juru pelihara. Situs yang dimaksudkan adalah kompleks Liang atau gua prasejarah Muna, ratusan benteng peninggalan kerajaan/Kesultanan Wolio, bunker/terowongan peninggalan Jepang, makam-makam tua baik sultan maupun raja-raja daerah, rumah adat (Kamali), bangunan profan maupun sakral berupa mesjid, gereja, gudang, kampung tua/tradisional, Under Water Heritage berupa kapal karam (peninggalan bawah air) yang tersebar di beberapa kepulauan, batu megalit, dan masih banyak lagi situs yang tidak dapat disebutkan satu persatu di tulisan ini.
Jumlah situs ini akan semakin bertambah jika secara signifikan terus dilakukan penggalian dan pencarian berupa observasi/survei/identifikasi/inventarisasi yang intensif. Misalkan saja pada tahun 2006 yang lalu telah ditemukan beberapa situs berupa gua prasejarah dan perkampungan tua oleh para arkeolog dari Prancis di daerah Lasolo (data Kebudayaan, Baparsenibud Sultra).
Pertanyaannya sekarang adalah “Mengapa data Potensi Kebudayaan Sultra yang begitu luar biasa tersebut tidak terekspos, tidak begitu penting, cenderung tidak diperhatikan, dan dianak tirikan dalam berbagai bentuk program?” Kebanyakan persepsi dan animo masyarakat maupun pemerintah kita masih banyak yang beranggapan (mengutip kata-kata seorang rakyat Sultra) bahwa; “Kebudayaan itu hanya memori masa lalu tidak perlu dibahas karena tidak bermanfaat”.
Anehnya, ada pula orang-orang yang bukan profesional di bidang tersebut memaksakan kehendak untuk berbuat hanya karena ada kepentingan belaka. Belum lagi mengenai alasan Sumber Daya Manusia (SDM) yang katanya terbatas. Hal ini tentu sangat mengherankan untuk saya pribadi dan semua rekan-rekan pecinta kebudayaan Sultra tentunya. Padahal, jika kita semua mau jujur, potensi kebudayaan ini apabila dilestarikan dan dimanfaatkan secara benar akan membawa dampak positif bagi pembangunan. Kemudian hal itu secara sadar menjadi modal dasar pembangunan daerah guna membentuk citra bangsa dan jati diri daerah.
Potensi kebudayaan Sultra ini sangat langka dimiliki oleh daerah lain di Indonesia sehingga harus diperhatikan dan wajib menjadi prioritas pembangunan serta menjadi alat utama penunjang kemajuan pariwisata daerah.
Pekerjaan rumah untuk kita semua, paling tidak dapat menghilangkan image mengenai pertanyaan di atas. Sebagai himbauan kepada masyarakat Sultra, Anggota DPRD di Komisi yang membidangi dan pemerintah daerah provinsi, kota dan kabupaten se-Sultra sudah seharusnya mengerti dan memahami; (1) Nomenklatur tentang kebudayaan dan pariwisata, yakni kebudayaan yang bertumpu pada keunikan dan kekhasan (budaya dan alam) menjadi aset bangsa dan daerah yang menguasai seluruh pranata sosial (hubungan antar manusia) di segala bidang. Ini merupakan modal utama pembangunan di segala aspek terutama bidang pariwisata sehingga nantinya terlahir sebuah kalimat, “Kebudayaannya dulu dong yang dibangun baru bahas promosi pariwisatanya” (Baca: Instruksi Presiden RI Nomor 16 Tahun 2005 tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata); (2) Dituntutnya kesadaran positif tentang beralihnya museum negeri dan taman budaya ke UPTD Badan Pariwisata dan Seni Budaya Prov. Sultra (Baca: SK Gubernur Sultra No. 28 Tahun 2006 dan Peraturan Gubernur Sultra No. 37 Tahun 2006); (3) Pengusahaan dan rekomendasi usulan tentang dibentuknya Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) dan Balai Arkeologi (Balar) di Sultra. Mengingat kedua balai vertikal ini merupakan UPTD Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI, yang selama ini untuk wilayah Sultra dikelola oleh Makassar. Tentunya Efektifitas kinerja, pengelolaan, pelestarian dan pengawasan menjadi sangat terbatas. Selain itu, dana APBN khusus pemugaran situs dan penelitian dibidang kebudayaan yang didistribusikan untuk kedua balai tersebut menjadi samar-samar bagi kita di daerah. Sudah saatnya Sultra memiliki kedua balai tersebut mengingat banyaknya potensi kebudayaan Sultra yang harus segera dilestarikan; (4) Mendesak dan melobi secara serius pemerintah pusat agar memberikan bantuan APBN berupa dana Dekon maupun dana Penunjang, khusus untuk pembangunan kebudayaan dan pariwisata daerah Sultra yang selama ini tidak pernah diterima. (Baca: Program/Kegiatan Renja APBD dan APBN Baparsenibud Prov. Sultra Tahun 2008 dapat dijadikan sebagai acuan); (5) Menjadikan dan mempelajari Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) di provinsi maupun daerah kabupaten dan kota se-Sultra sebagai petunjuk, pedoman, dan bahan spesifikasi tentang pemintakan kawasan pariwisata yang ditunjang dengan potensi kebudayaan masing-masing daerah; (6) Ciptakan optimisme bahwa industri kepariwisataan merupakan ‘Mega industri’ dan diperkirakan akan menjadi salah satu penggerak utama perekonomian abad ke-21. Hal ini didukung oleh World Travel & Tourism Council (WTTC) yang memprediksi bahwa industri pariwisata akan menggerakkan mobilitas wisatawan internasional hingga 850 juta wisatawan di seluruh dunia. Selain itu, organisasi wisata dunia World Tourism Organisation (WTO) menyatakan bahwa pariwisata memiliki prospek yang sangat cerah, bahkan diprediksi pariwisata dunia akan mengalami pertumbuhan rata-rata 4,2 % per tahunnya hingga tahun 2010. Dan salah satu kawasan yang akan mengalami tingkat pertumbuhan terbesar adalah negara-negara di Asia, termasuk Indonesia. Sebagai informasi bahwa di Indonesia, sektor pariwisata merupakan penghasil devisa negara kedua setelah sektor migas.
Pada prinsipnya, kekuatan akan majunya pariwisata di Indonesia karena keberadaan potensi kebudayaannya. Denpasar-Bali, D.I Yogjakarta, Jakarta, Semarang, Bandung, Palembang, bahkan daerah baru Kutai Kertanegara terlihat maju kepariwisataannya karena mengedepankan pembangunan kebudayaan daerahnya yang memiliki keunikan dan kekhasan alam dan budaya mereka. Pengembangan dan kerja sama kemitraan antara lembaga-lembaga pariwisata seperti PHRI, ASITA, PUTRI, HPI dan perguruan tinggi pariwisata lainnya oleh pemerintah perlu terus ditingkatkan.
Kemudian muncul kembali pertanyaan, “Mampukah kita seperti daerah-daerah tersebut di atas?” Jawabannya tentu mampu, selama kita masyarakat, pemerintah, dan wakil rakyat di Sultra serta lembaga-lembaga (NGO) kebudayaan dan pariwisata daerah bekerja sama. Kita bersama-sama bersatu untuk mengedepankan dan memprioritaskan pembangunan kebudayaan daerah guna kepentingan pariwisata ke depannya. Dengan cacatan menggenjot, memfungsikan, dan memanfaatkan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) profesional dan lembaga yang sudah ada untuk mengelola potensi kebudayaan Sulawesi Tenggara melalui program/kegiatan yang tentunya masuk akal dan terukur.
Semoga destinasi pariwisata berikutnya terfokus di daerah Sulawesi Tenggara. Maju terus daerahku, tambahkan satu titik hingga garis destinasi pariwisata itu ke arahmu. Salam Kebudayaan dan Pariwisata.
La Ode Ali Ahmadi, S.S (Archaelogy)
(Staf Baparsenibud Sultra)

Bahasa Wolio Terancam Punah

Kedudukan Bahasa Wolio Pada Masa Kesultanan Buton
Sebelum ada negara Indonesia, masyarakat yang bermukim di wilayah Kesultanan Buton menggunakan bahasa Wolio sebagai alat komunikasi utama. Posisi bahasa Wolio sebagai bahasa utama menjadikan bahasa Wolio sebagai bahasa persatuan dan alat penghubung antarmasyarakat Buton yang memang terdiri atas beberapa subetnis.
Pilihan penggunaan bahasa Wolio sebagai bahasa utama disebabkan oleh dua hal. Pertama, masyarakat yang berada dalam wilayah Kesultanan Buton terdiri atas beberapa subetnis seperti etnis Wolio, Muna, Wakatobi, Cia-Cia, dan Bajo. Semua etnis ini didukung oleh bahasa yang berbeda-beda dan hanya digunakan di dalam kelompok-kelompok etnik tersebut. Keanekaan bahasa yang ada di dalam masyarakat Kesultanan Buton tersebut yang menyebabkan dan menjadikan bahasa Wolio menjadi bahasa utama atau bahasa persatuan di Kesultanan Buton. Kedua, pada masa Kesultanan Buton, bahasa Wolio merupakan bahasa yang dipakai oleh masyarakat yang mendiami pusat Kesultanan Buton. Posisinya sebagai bahasa sehari-hari di pusat pemerintahan sangat memungkinkan bahasa Wolio menjadi bahasa resmi dalam masyarakat Kesultanan Buton. Kondisi itu tidak lepas dari kultur pemerintahan pada masa kerajaan dan kesultanan yang umumnya menjadikan ‘bahasa pusat pemerintahan’ sebagai bahasa utama dan alat komunikasi antaretnik yang berada dalam wilayah kekuasaannya.
Dua hal yang dipaparkan di atas diduga kuat menjadi penyebab ditetapkannya bahasa Wolio sebagai bahasa persatuan masyarakat Kesultanan Buton, baik itu dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja. Gani dkk. (1986) dalam sebuah laporan penelitian terhadap bahasa Wolio mengatakan bahwa bahasa inilah (bahasaWolio) yang pada masa lampau dipilih sebagai bahasa resmi Kerajaan Buton. Oleh karena itu, bahasa Wolio juga lebih dikenal dengan nama bahasa Buton. Bahasa ini juga memiliki aksara tersendiri yang disebut huruf Serang yang diambil dari huruf Arab. Aksara Serang dapat dibuktikan dengan masih ditemukannya peninggalan-peninggalan berupa naskah.

Kondisi Terkini Bahasa Wolio
Paparan mengenai kedudukan bahasa Wolio pada masa Kerajaan dan Kesultanan Buton, mengingatkan kita terhadap kedudukan bahasa Wolio pada masa kini. Pertanyaan yang muncul mengenai bahasa Wolio adalah masihkah peran dan fungsi yang diemban bahasa Wolio pada masa Kerajaan sampai pada masa Kesultanan Buton tetap terlestarikan? Saya sulit untuk mengatakan bahwa peran dan fungsi bahasa Wolio pada masa Kerajaan dan Kesultanan Buton masih tetap terlestari sampai saat ini.
Pada bulan Februari tahun 2007, saya melakukan pengidentifikasian kosa kata dasar bahasa Wolio. Ternyata, beberapa informan yang berusia muda mengalami kesulitan dalam menyebutkan kosakata dasar bahasa Wolio secara tepat. Generasi muda pemakai bahasa Wolio cenderung mendeskripsikan istilah-istilah yang ada dalam bahasa Wolio. Dengan kata lain, generasi muda penutur bahasa Wolio cenderung menjelaskan istilah-istilah yang ada dalam bahasa Wolio padahal istilah-istilah tersebut memang ada kosakata dasarnya dalam bahasa Wolio. Penutur bahasa Wolio berusia muda mengalami kesulitan dalam menyebutkan nama-nama istilah yang ada dalam bahasa Wolio. Kondisi ini masih lebih ‘beruntung’ jika dibandingkan dengan kenyataan bahwa generasi muda etnik Wolio cenderung menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Wolio.
Perhatikanlah peristiwa komunikasi yang terjadi antaranak yang beretnik Wolio. Bahasa apa yang mereka gunakan? Pertanyaan yang saya hadirkan ini terkait dengan pengakuan salah seorang masyarakat Kota Baubau yang beretnik Wolio yang dengan jujurnya mengatakan bahwa anak-anaknya tidak menggunakan bahasa Wolio walaupun mereka berkomunikasi di dalam rumah.
Peristiwa seperti itu bukan saja terjadi pada salah seorang keluarga Wolio tersebut. Saya juga mencermati keprihatinan salah seorang generasi muda pemakai bahasa Wolio yang berucap bahwa ‘bholimoadhi pogau Indonesia, podho-podho ingkita mina iwolio’. Maksudnya adalah ‘janganlah pakai bahasa Indonesia, sama-sama kita dari Wolio atau sebaiknya kita menggunakan bahasa Wolio ketika kita berkomunikasi sesama orang Wolio.
Ucapan ini disampaikan kepada temannya yang juga penutur bahasa Wolio yang ‘suka’ menggunakan bahasa Indonesia walaupun lawan bicaranya adalah penutur bahasa Wolio. Generasi muda Wolio tersebut khawatir melihat gejala pergeseran pilihan bahasa yang digunakan oleh masyarakat beretnik Wolio, khususnya pada kalangan penutur usia muda.
Kondisi yang dipaparkan di atas merupakan beberapa gejala yang dialami suatu bahasa daerah menuju kepunahan. Masyarakat Wolio yang mampu menguasai bahasa Wolio ragam halus tinggallah penutur berusia tua, sedangkan penutur berusia muda masih ‘beruntung’ jika mereka masih menguasai bahasa Wolio ragam kasar.

Upaya Pemertahanan dan Penyelamatan
Masalah yang dialami bahasa Wolio perlu dicarikan solusi tepat untuk mengembangkan peran dan fungsi bahasa Wolio. Semua pihak yang memiliki kepedulian terhadap salah satu kekayaan bangsa berupa bahasa ini sebaiknya duduk bersama menelaah dan mencari solusi yang tepat. Tujuannya adalah agar bahasa Wolio tetap menjadi alat komunikasi di antara sesama warga Wolio.
Salah satu upaya pemertahanan penggunaan bahasa Wolio yang pernah diupayakan oleh Pemerintah Kota Baubau dan Kabupaten Buton melalui Dinas Pendidikan Nasional adalah dengan menjadikan bahasa Wolio sebagai salah satu muatan lokal di tingkat Sekolah Dasar. Melalui muatan lokal, siswa usia dini diharapkan mampu menguasai bahasa Wolio dengan baik. Akan tetapi, setelah beberapa tahun muatan lokal ini berjalan, belum ada tanda-tanda keberhasilan program ini. Sudah efektifkah solusi itu? Belum ada sebuah laporan yang resmi.
Melalui tulisan ini, saya menyarankan kepada guru muatan lokal bahasa daerah Wolio agar tidak hanya mengajari siswa untuk mengenal dan mampu menggunakan bahasa Wolio, tetapi juga guru harus memberikan pemahaman kepada siswa bahwa bahasa Wolio bukan sekedar alat komunikasi selain bahasa Indonesia, melainkan bahasa Wolio juga sebagai penanda jati diri, penanda hubungan kekerabatan, lambang identitas etnis, dan kekayaan bangsa yang diwariskan sebagai alat komunikasi dalam etnik Wolio.
Sebagai generasi penerus, masyarakat pemilik bahasa Wolio harus berupaya untuk tetap mempertahankan dan melestarikan bahasa Wolio karena bahasa sebenarnya menunjukkan bangsa, identitas, dan hubungan kekerabatan. Oleh karena itu, mari bangkitkan kembali semangat untuk menghargai kekayaan budaya bangsa.

Asrif ( Peneliti Bahasa, Bekerja di Kantor Bahasa Prov. Sultra. )

PERGERAKAN MAHASISWA KRISIS IDEOLOGI

Demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa FKIP pada Senin 8 Juni kemarin dipicu oleh pernyataan dekan FKIP empat hari sebelumnya dalam sebuah seminar terbuka. Pernyataan dekan tersebut dinilai melecehkan nilai pergerakan mahasiswa dan dianggap sebagai upaya pembunuhan karakter. Judet, mahasiswa Pendidikan Pisikologi yang menjadi korlap menegaskan bahwa apa yang dikatakan H. Barlian sangat tidak layak diungkapkan oleh seorang pendidik seperti beliau. Beliau sama sekali tidak punya dasar hanya karena melihat yang lain berdemonstrasi lantas menggeneralisir pergerakan. Kata siapa mahasiswa tong kosong nyaring bunyinya. Kami tersinggung. Kami merasa intelektualitas kami diragukan dan itu berarti, bahwa beliau sama sekali tidak paham tentang pergerakan mahasiswa.

Hal senada diungkapkan oleh Ld. Zumail, mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris, dia menegaskan bahwa saya tidak akan pernah menerima pernyataan dekan yang mengatakan bahwa pergerakan mahasiswa tidak punya konsep. Kami sangat menyayangkannya, padahal beliau juga dulu ketika mahasiswa adalah aktivis. Yang lebih kami sesalkan adalah pernyataan tersebut diungkapkan di sebuah forum seminar pendidikan.

Hal lain yang disorot oleh Judet dan kawan-kawan adalah sertifikasi guru. Ada semacam ekslusifitas terhadap mereka dan menyebabkan mahasiswa reguler diabaikan ketika guru yang disertifikasi datang. Hal ini menimbulkan kecemburuan dan beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh karena tidak ada pemisahan yang jelas secara administratif tentang kulifikasi dan reguler. Tumpang tindih penggunaan ATK, ruangan dan seterusnya. Serta yang paling parah adalah dosen lebih memilih mengajar di sertifikasi dengan upah menggiurkan ketimbang mengajar pada mahasiswa reguler, padahal itu tugas pokok yang tidak boleh diabaikan.

Menyinggung soal Akta IV, judet dan mail menambahkan bahwa FKIP telah mengambil kebijakan yang keliru dan semacam ada upaya pembiaran agar mahasiswanya menjadi pengangguran. Buktinya pada mahasiswa non-kependidikan dibukakan ruang agar memperoleh akta padahal itu hanya sesaat, sementara kita (mahasiswa FKIP, red.) memprogramkan dan praktekannya bertahun-tahun. Ini tidak boleh dibiarkan.

Ketika kami mengkonfirmasi Dekan FKIP dalam suasana diskusi santai dengan mahasiswa di pelataran dekanat, beliau menegaskan bahwa mereka salah tanggap dengan maksud yang ingin saya sampaikan. Beliau menyatakan bahwa sangat salut dengan pergerakan mahasiswa dan beliau mengakui bahwa pada mahasiswalah agen of change sebuah dinamika sosial. Tentang pernyataan saya bahwa mereka tidak punya konsep, itu harus dimaknai sebagai keinginan besar saya kepada mahasiswa agar mereka memiliki desain konsep dalam sebuah pergerakan. Saat ini saya sedang meneliti tentang pergerakan mahasiswa dan apa yang saya nyatakan adalah kutipan saya dalam bukunya Hermawan Sulistiyo yang berjudul LAWAN!, pada hal. 157 yang menyatakan bahwa karakteristik mencolok lainnya dari mahasiswa pro-reformasi, jika dibandingkan dengan gerakan mahasiswa sebelumnya ialah kurang atau tidak adanya ”ideologi”. Inilah yang saya kutip, dan jika mereka tersinggung dengan pernyataan saya itu karena mereka tidak membaca buku ini secara tuntas, atau memang belum membacanya sama sekali.

Menyinggung tentang pot bunga yang dibakar di depan fakultas, beliau mengatakan bahwa saya kira mereka ingin memperbaiki tapi nyatanya mereka merusak. Saya tidak tahu gerakan seperti ini apa namanya. (TAR)

CERPEN SRI LESTINA

Sri Lestina lahir di Ereke, 4 Desember 1983


KOIN DI ATAS TAI AYAM


Tanggal tua. Selalu seperti penantian berabad-abad lamanya bagi Alya. Upah buruh biasa seperti dirinya sampai kiamat pun tak akan pernah bisa membuat hidupnya sejahtera, apalagi kaya raya. Alya tahu itu. Tapi, mau bagaimana lagi. Menjadi buruh bulanan di perusahaan perikanan terbesar di Kota Kendari itu merupakan satu-satunya lubang yang mengalirkan rizki yang menghidupi dirinya dan anaknya Rahmat selama ini, sejak setelah suaminya pergi meninggalkannya merantau di negeri yang jauh, Batam.
Dalam seminggu ini Alya seperti sudah kehabisan nafas. Di dapurnya tak ada lagi bau ikan, yang ada hanyalah aroma mi instant yang juga sudah berhenti sejak tiga hari yang lalu. Kemudian yang mengisi perutnya sampai hari ini tinggal nasi putih dan air. Tak ada lagi uang untuk beli lauk.
Didorong rasa kasihan kepada anak semata wayangnya yang masih berusia dua tahun itu, dengan sekuat tenaga pagi tadi dia memberanikan diri mengeluarkan kata memalukan itu lagi. Nambah utang, sebutir telur. Alya tahu, anaknya butuh gizi untuk pertumbuhannya. Biarlah hidupnya kurus kering. Yang penting anakku sehat, agar masa depannya lebih baik dari diriku, pikirnya.
Matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Alya masih duduk termenung memikirkan apa yang akan dimakannya malam ini, dan juga besok pagi. Baru saja tadi dilihatnya ember plastik tempatnya menyimpan beras menampilkan butiran-butiran menyedihkan yang tak akan cukup memenuhi ganggamannya. Sementara hari yang dinanti untuk terima upah masih dua hari lagi.
Parahnya, Alya merasa bahwa penyakit batuknya semakin parah akibat bekerja di ruangan bersuhu dingin sepanjang hari tanpa disertai minum obat yang teratur. Selama ini yang mampu dibelinya hanyalah obat murahan yang tak mungkin mampu menyembuhkannya secara total. Tapi itulah yang dikonsumsinya selama ini yang membuatnya sampai saat ini masih bisa bertahan bekerja menghidupi anak dan dirinya meski pas-pasan.
Uangnya kini tinggal kepingan-kepingan koin yang hitungannya berjumlah lima ratus kurang lima puluh rupiah. Ya, empat ratus lima puluh rupiah. Itulah uang di tangannya saat ini. Tadi pagi sudah dihitungnya.
“Malam ini aku dan anakku makan apa?” Alya melirik anaknya yang sedang memainkan mobil-mobilan di atas lantai beralas plastik lusuh. Anak itu terlihat sudah menguasai ruangan tiga kali empat yang dibayarnya 60 ribu per bulan itu. Mulut mungilnya sekali-sekali menirukan suara derum mobil yang terdengar menggemaskan. Wajahnya yang polos tak mempedulikan kegelisahan ibunya yang dari tadi memandanginya dengan sedih sambil menahan air mata haru dan sedih. Terharu karena anaknya sudah besar dalam asuhan dan cucuran keringatnya selama setahun lebih ini. Ayahnya sudah tak terdengar beritanya. Alya berfikir mungkin suami yang dinikahinya empat tahun lalu itu sudah senang dengan wanita lain. Entahlah. Yang jelas sekarang dia menghibur diri saja dengan menanamkan satu hal bahwa suaminya sudah meninggal.
Tiba-tiba…
“Mama, Mat lapal”
Alya tersentak ketiga tiba-tiba suara derum mobil aneh itu berhenti. Berganti dengan rengekan memilukan anaknya yang seakan sudah diduganya akan terjadi.
“Ap...apa nak?
“Mat lapal…mau makan”
Rahmat mulai menangis. Alya menjadi gugup. Ya Allah, apakah aku harus ngutang lagi? Sementara utangku sudah bertumpuk.
Alya membayangkan wajah Mak Eni janda tua pemilik kios tempatnya berlangganan mengutang sembako. Beberapa hari ini, wajah itu sudah tidak ramah. Alya langsung mengerti perubahan itu. Dia pasti menuntut utang segera dibayar. Tapi, selama ini kan aku salalu bayar tepat waktu? Alya bingung.
Alya bersyukur karena masih ada orang yang mempercayainya mengutang meski penuh dengan ketidakenakkan. Sama seperti teman-teman kerjanya di PT. Dharma Samudera yang lain yang indekost di dekatnya, mayoritas juga mengutang sama Mak Eni. Upah bulananlah yang menjadi jaminan kepercayaan. Alya tidak bisa memungkiri kalau sebagian besar upah bulanannya lari ke kantong Mak Eni, pemilik kios yang menyediakan hampir semua keperluan sehari-hari Alya dan anaknya. Selebihnya untuk bayar Tante Acing yang menjaga Rahmat kalau Alya pergi kerja.
Kadang Alya berfikir kalau hidupnya terlalu berputar-putar dan membosankan. Setiap hari dan bulannya bergulir hal yang sama. Di awal bulan terima upah kerja, lalu tak menunggu minggu uang itu sudah raip dihamburkan ke tempat-tempatnya mengutang. Ke Mak Eni dan Tante Acing lah tempat pertama yang ditujunya. Bahkan kadang tak menunggu besok, dihari dia menerima upahnya langsung saja dibayarkan utang ke orang-orang yang dianggapnya terlalu berjasa dalam hidup dirinya dan anaknya itu. Sementara di pertengahan bulan ketika uang sisa bayar utang sudah menipis, maka kegiatan mengutangpun kembali dilakoni, terutama ke Mak Eni. Biasanya di awal-awal pengutangan, Mak Eni selalu terlihat bersemangat melayani pekerja-pekerja Dharma yang datang mengutang sembako padanya. Tetapi di akhir bulan, entah karena apa dia selalu berwajah muram melayani mereka. Padahal kalau Alya pikir, bukankah tanggal tua berarti mendekati tanggal muda? Yang berarti waktu pembayaran utang sudah semakin dekat? Alya tidak tahu apa yang ada di pikiran Mak Eni. Tapi yang jelas, wanita tua itu tetap dianggap sebagai malaikat penolong ketika di tangannya sudah tidak ada goceh lagi.
Terkadang Alya berfikir ingin mencoba alur kehidupan lain yang memungkinkannya bisa meloncat lebih jauh. Masa depan anaknyalah yang selalu menjadi bahan pikirannya. Tak mungkin begini terus. Hidup gali lubang tutup lubang. Lubang yang seakan tak pernah hilang. Sampai saat ini, arah loncatannya itulah yang dipertimbangkannya. Sementara dia hanya tamatan SMA.

“Tunggu sebentar ya nak”, Alya menyeka air matanya.
Bergegas Alya mengambil kumpulan koin yang ditaruhnya di laci lemari plastiknya. Sesaat terdengar gemerincing koin ketika Alya sedang menghitung kembali jumlahnya. Tidak bertambah dan tidak berkurang, empat ratus lima puluh rupiah. Akh, uang segini apa yang bisa dibeli? Alya memutar otak. Anakku harus hidup.
“Mat mau makan apa?” Alya mencoba menanyakan selera anaknya meski perasaannya berkecamuk menanti jawaban dari mulut polos situ. Alya sudah tidak dapat menahan air matanya lagi.
Anak itu diam. Memandang wajah ibunya sambil tertegun. Seakan mengerti apa yang dirasakan ibunya.
“Nasi sama telur pakai kecap ya?” Alya langsung menebak karena itulah yang biasa disukai Rahmat. Anak itu tetap diam. Alya mengulangi pertanyaannya.
Anak itu tetap hanya memandang ibunya. Tangisnya yang tadi menjadi-jadi sudah tidak terdengar lagi sejak mendengar gemerincing koin yang dihitung Alya.
Anak itu menggelengkan kepala
“Trus, Rahmat mau makan apa?” Alya tetap bingung dengan sikap anaknya. Bukannya tadi dia menangis karena lapar?
“Mat mau makan loti aja mama”
“Roti?!... Kok roti nak? Itu tidak mengenyangkan”
“Mat mau makan loti…ga mau makan naci”, Rahmat terlihat mulai menangis lagi. Alya jadi iba.
“Baiklah nak. Mama akan beli roti untuk Mat sekarang”
Alya tak habis pikir. Kenapa anakku berubah pikiran? Apakah karena dia melihat koin sehingga dia ingin makan roti, bukannya nasi? Alya baru ingat kalau dia selalu menggunakan koin untuk membeli roti ketika Rahmat minta dibelikan roti.
Alya bangkit dan menimbang-nimbang uang koin empat ratus lima puluh rupiah di genggamannya. Harga roti perbiji limar ratus rupiah. Uang ini tidak cukup. Kurang lima puluh rupiah!
Aku harus berani berutang lagi ke Mak Eni. Dia sudah merencanakan apa yang akan diutangnya untuk menghidupi diri dan anaknya sebelum hari terima upah tiba, dua hari lagi. Dia harus mengutang beras dua liter, telur empat butir, dan roti untuk Rahmat. Bergegas Alya menuju kios Mak Eni yang hanya berjarak 10 meter dari kamar kontrakannya.
Tetapi, betapa Alya kecewa menyaksikan kios harapannya itu sudah tertutup rapat. Alya heran, kok jam segini sudah tutup? Biasanya kios ini buka sampai jam 11 malam.
Alya memberanikan diri mengetuk pintu, tak ada sahutan. Diketuknya sekali lagi.
“Mak Eni sedang pergi, ada anaknya yang melahirkan di rumah sakit. Tak ada orang di rumah itu”, Alya menoleh. Dilihatnya siapa yang berbicara, ternyata tetangga sebelah kanan rumah Mak Eni yang melongok dari pintu rumahnya.
“Oh ya. Kapan kira-kira baliknya?” Alya merasa harus tahu kapan Mak Eni pulang. “Tidak tahu juga ya? Soalnya melahirkannya operasi katanya.”
“Oh. Kalau begitu permisi pak. Terima kasih”
Alya melangkah gontai meninggalkan kios itu. Bagaimana dengan anakku?
Alya melirik koin di genggamannya. Dia akan menuju kios Bu Dina yang terletak agak jauh dari kamar kostnya. Bu Dina yang terkenal pelit dan kurang ramah melayani pembeli tak akan mungkin menerima uang kurang meski cuma lima puluh rupiah. Malah dia tak segan-segan akan mendamprat pembeli kalau uang kurang atau uangnya terlalu lusuh. Alya sudah pengalaman menyaksikan temannya yang belanja di warung Bu Dina yang menerima ocehan pedas dari mulut Bu Dina hanya karena uangnya kurang seratus rupiah. Katanya: Jangan membeli kalau tidak punya uang, dasar buruh ikan. Kerjanya cuma ngutang.
Alya terus memeras otak, paling tidak bagaimana harus memenuhi keinginan anaknya untuk makan roti yang akan dibelinya di warung Bu Dina.
Tiba-tiba Alya langsung teringat kalau beberapa hari yang lalu dia melihat ada koin seratus rupiah di bawah jemuran pakaiannya. Semula akan dipungutnya, tetapi dia jijik melihat koin itu terletak persis di atas tai ayam yang masih segar. Aku harus mengambilnya sekarang.
Alya memutar langkah menuju kamar sewaannya kembali. Diintipnya dari jendela, anaknya kembali bermain mobil-mobilan meski suara derum mobil dari mulutnya sudah tidak senyaring tadi. Anak itu sudah biasa ditinggal sendiri, sehingga ketika Alya pamit meninggalkannya tadi dia mengangguk saja.
Semoga belum ada yang memungutnya. Di bawah sinar rembulan yang remang-remang, Alya menuju bahwa jemuran terdapatnya koin beralas tai ayam yang kini menjadi harapannya.
Dari kejauhan kilau koin tampak menonjol di tengah tanah di sekitarnya yang berwarna coklat. Alya mengambil ranting kecil lalu mengeluarkan koin itu dari peraduannya yang tampaknya akan abadi kalau Alya tidak mengeluarkannya. Tai ayam yang beberapa hari yang lalu masih segar kini sudah mengering sehingga Alya sudah tidak sejijik waktu pertama kali melihatnya beberapa hari yang lalu.
Setelah koin keluar, Alya mengoreknya menggunakan ranting lain hingga bersih. Tak cukup sampai di situ, dibawanya koin itu menuju sumur tempatnya biasa mengambil air. Lalu dicucinya hingga bersih. Kini koin itu siap digabung dengan koin lain untuk pembeli roti Bu Dina yang dinanti anaknya. Alya tersenyum di keremangan malam. Besok aku akan ngutang beras dan telur. Terakhir di bulan ini.

***

CERPEN

KARMAN

Ini adalah sebuah kisah nyata. Oleh sebab terlalu nyata kejadian ini, hingga dia yang mengalaminya pun tidak percaya bahwa dia telah mengalaminya. Seperti biasa, Karman selalu tidur di ranjang dengan sebuah kelambu berwarna putih. Mudah dipahami mengapa ia tidur di ranjang atau mengapa ia memakai kelambu. Pertama, karena lantai semen rumahnya terlalu dingin untuk tubuhnya yang kurus kerempeng itu, dan kedua, karena nyamuk di kamarnya serupa bising pesawat saat kita berada dekat bandara.
Karman sudah dua tahun tinggal di kamar itu. Sebuah ruangan berukuran 3 x 3 meter, dilengkapi ranjang kayu yang hampir lapuk, kasur yang terbuat dari kapuk dan tentu saja sebuah poster seorang artis ibu kota. Tentang poster artis ibu kota ini sengaja ia ditempelkan di sana agar setiap kali Karman hendak tidur selalu tampak senyum dan binar matanya. Isi kamar yang berpintu darurat itu adalah ada sebuah meja kayu dengan kursi plastik dan menumpuk diktat kuliah di atasnya di pojok kanan, lemari plastik yang sudah tanggal resletingnya dan tak ketinggalan lantai kamar yang bolong-bolong karena galian tikus. Barangkali rumah ini lebih tua dari Karman, dan tentu kamar dan ranjangnyapun lebih berpengalaman dari Karman.
Tapi bukan tentang isi kamar yang hendak saya ceritakan di sini. Melainkan sebuah keadaan mengejutkan yang seharusnya tidak boleh dialami Karman. Saya bahkan tidak berani, pun dengan membayangkan apa yang sudah dia ceritakan kepada saya. Bagaimana tidak. Semalam kira-kira pukul dua belas tengah malam, saat ia hendak tidur dan telah tuntas urusan membereskan kasur dan kelambunya, ia merasa seperti ada suara-suara aneh memanggil namanya. Dengan pelan dan kurang fasih suara itu memanggil ”Karmaaaannn.............., Ka............rrrrrrrman, Kar........................man,” berkali-kali. Namun dalam keadaan setengah sadar dan kantuk terlalu kuat untuk dilawannya, ia tak menghiraukan. ”Barangkali ini hanya mimpi atau halusinansi” batin Karman. Lalu ia tertidur. Tapi anehnya, tiba-tiba ia merasa ribuan ekor nyamuk menyerangnya. Seolah nyamuk ini hendak mengangkatnya terbang dan membawanya ke dunia entah. Karman memberontak. Pertempuran Karman dengan nyamuk tentu tidak seperti sengitnya perang antara Palestina dan Israel di Jalur Gaza. Ketika nyamuk kelelahan dan istrahat, Karman juga istrahat. Lalu diambilnya bantal guling agar lekat dalam dekapannya.
Karman memeluk erat bantal gulingnya. Ia mendekapnya seolah gambar artis ibu kota di posternya itu menjelma bantal gulingnya. Pelan dan lembut Karman membalikan badan. Hanya saja ada keganjilan di sana. Ketika bantal guling itu hendak diangkatnya, semacam ada perlawanan dari bantal guling ini. Ia mencoba lagi hingga pada hitungan kali ketiga ia tetap gagal dan bantal guling ini seolah menariknya. Karman gelisah. Ia merasa diabaikan bantal gulingnya sendiri. Ia kesal dan dalam hati ia mulai berjanji akan melemparkan bantal guling ini esok hari di kali dekat kebun jagung milik pamannya.
Perjuangan Karman mengajak bantal gulingnya tak berhenti sampai di situ. Ia mulai tak bisa mengendalikan diri dan amarahnya memuncak. Saya kira siapapun akan merasa bahwa bantal guling ini layak dicurigai kesetiaannya. Bantal guling yang sudah lusuh, bau dan berdaki. Mungkin usianya lebih tua sedikit dari Karman. Kesadaran Karman pulih akibat akumulasi kejengkelan pada bantal guling dan persiapan menunggu gempuran nyamuk. Dalam keadaan sadar ini, Karman merasa tidak adil menuduh bantal guling tanpa alasan. Ia mencoba memanjangkan kakinya menelusur bantal gulingnya. Namun, pada kulit betisnya ia merasakan dingin yang berbeda. Bukan dari sarungnya yang bolong atau karena kelambunya sudah tersibak. Dingin yang mewakili sebuah keganjilan. Dipanjangkannya lagi kakinya, dan ada semacam lendir pada sarung bantal gulingnya.
Pikiran Karman pun mulai tidak seperti biasanya. Ia mulai menduga-duga keadaan. ”Jangan-jangan.......” ucap Karman dalam hati. Secepat kilat tangan kiri karman mengambil ponselnya yang memang selalu ia aktifkan meski dalam keadaan tidur. Ia pencet salah satu tombolnya dan astaga, seekor ular berwarna coklat keemasan dengan kulit bercorak batik kotak-kotak kecil dengan bis kuning di setiap sisi perseginya telah menemani tidurnya entah sejak jam berapa. Rupanya prosesi tarik menarik dengan bantal guling tadi adalah seekor ular seukuran paha orang dewasa dengan panjang lebih dari ukuran kamarnya. Karman secara refleks melompat dari ranjangnya. Seperti jurus dalam ilmu meringankan tubuh, Karman terpental dari ranjang itu dan membiarkan makhluk tak diundang itu menggeliat sendirian di ranjang Karman. Kaget bercampur takut menyatu dalam wajah Karman yang pucat pasi. Bagaimana tidak. Seokor ular sebesar paha orang dewasa dengan panjang lebih dari tiga meter, telah menjadi teman tidurnya selama entah berapa jam.
Rambut keriting Karman tiba-tiba menjadi lurus ke atas semuanya. Sebab setelah lolos dari sisi ular besar itu, di kakinya menumpu ternyata bukan pada semen dingin sebagaimana harapannya. Tapi, ia menginjak dua ekor ular sebesar anak pohon pepaya. Nyawa Karman tertahan di tenggorokannya, ketika ia merasa tubuhnya seringan kapuk kasurnya. Secepat kilat ia melompat ke kursi plastik di pojok kanan kamarnya. Sekeliling Karman tiba-tiba menjadi ruang penangkaran ular dan kali ini ia merasa bahwa kamar yang dia bersihkan setiap pagi dan sore itu telah menghianatinya. Pelan ia menyalakan lampu neon 25 watt, lalu grendel jendela dilepaskan dari pengaitnya. Senjata terakhir harus ia keluarkan yaitu lari terbirit-birit sambil berteriak minta tolong kalau-kalau tiga ekor ular itu menunju ke arahnya. Ia tak lagi peduli pada apapun bahkan pada pesan ayahnya agar jangan pernah melompati jendela rumah. Ia merasa hidupnya sedang sekarat dan terlalu sadis bila ia terpaksa harus mati di perut ular gila itu. Lagi pula Karman tak punya apa-apa sebagai senjata dalam keadaan seperti ini. Meskipun kamarnya berhadapan langsung dengan dapur, ia merasa sangat kesulitan bahkan untuk mengambil pisau pengiris bawang atau sapu lidi yang juga sudah hampir rontok itu.
Karman menarik napas. Ular sebesar paha orang dewasa turun perlahan dari ranjang Karman. Tidak ada kata terima kasih dari desis ular itu atau kerling mata tanda pamit atau semacamnya. Pelan dan lambat, semacam slow motion dalam adegan film laga ular ini merayapi semen lantai kamar Karman. Dan dua ekor ular di bawahnya lincah dan sigap mengikutinya dari belakang lalu menelusup masuk ke lubang lantai kamar itu.
Karman yang malang. Kali ini bahkan ia tak menoleh pada poster cantik artis ibu kota itu. Ia masih dibalut rasa takut dan kaget. Butiran-butiran keringat mengguyur sekujur badannya. Rambut keritingnya sudah kembali normal dan sepuluh jari-jarinya masih bergetaran seperti sebuah gerak pelamasan otot yang dipaksakan.
Ini adalah kisah nyata. Oleh sebab terlalu nyata kejadian ini, hingga dia yang mengalaminya pun tidak percaya bahwa dia telah mengalaminya. Ia dilanda trauma yang dalam. Ia tak percaya pada apapun saat ini, bahkan pada bantal guling yang selama ini setia menghangatinya. Ia tak percaya pada kasur dan kelambunya. Ia tak percaya lagi pada lantai semen kamarnya, kecuali kursi plastik usang yang pernah menyelamatkan nyawanya. ” Sampai kapanpun saya tidak akan lagi pakai bantal guling kalau saya tidur. Dan kepada semua yang telah mengetahui cerita saya ini, jangan pernah membayangkan seperti apa rasanya tidur seranjang dengan ular, apalagi ia ular betina.” kata Karman sambil menyerup ampas kopinya.

Kendari, 23 Maret 2009
Irianto Ibrahim
Humanisasi Pendidikan

Judul Buku : Humanisasi Pendidikan
Pengarang : Prof. Darmiyati Zuchdi, Ed.D.
Penerbit : PT. Bumi Aksara
Tahun Terbit : 2008 (cetakan pertama)
Jumlah Halaman : 227 halaman
Buku ini menyajikan tentang konsep nilai. Konsep nilai yang dimaksud adalah Konseptualisasi Moralitas dan Pendidikan yang Normatif. Dalam buku ini, teori Hill mengidentifikasi empat konsepsi yang berbeda satu sama lain mengenai moralitas. Dari empat konsep inilah kemudian muncul berbagai teori tentang perkembangan moral. .Keempat konsepsi moral tersebut ialah kepatuhan pada hukum moral (obedience to the moral law), konformitas pada aturan-aturan sosial (conformity to social rules), otonomi rasional dalam hubungan antar pribadi (rational autonomy in interpersonal dealings), dan otonomi eksistensial dalam pilihan seseorang (existensial autonomy in one’schoices).
Bagian pertama buku ini, pengarang mengajak pembaca untuk memahami konsep moralitas sampai implementasi dalam pengembangan kecerdasan relegius, kultural, sosial, emosional, dan intelektual. Beberapa konsep ini berhasil disajikan dan telah diulas sampai tuntas.
Darmiyati Zuchdi, sebagai pengarang buku ini bermaksud untuk mengkritik sistem pendidikan kita yang ada. Tentu saja ini berangkat dari refleksi aktualisasi pendidikan kita yang menurutnya salah dan butuh perombakan/revisi. Analogi beliau adalah melihat proses dan hasil dari transformasi budaya pendidikan kita. . Menurut konsepnya, bahwa pendidikan sebagai ilmu yang normatif berfungsi membawa subjek didik ke arah yang lebih baik. Akan tetapi yang terjadi adalah pendidikan yang tercemar dengan ketidak manusiaan, seperti kekerasan yang berkedok kedisiplinan.
Lewat buku yang ditulis ini, Darmiyati ingin mengungkapkan secara realitas contoh aktualisasi pendidikan kita yakni, adanya kasus pemerkosaan oleh guru terhadap siswa, penganiayaan, perlakuan sikap ketidakadilan terhadap siswa (pilih kasih), dan sebagainya, yang imbasnya antara guru dan siswa tercipta dendam.
Menurut pandangan Darmiyati Zuchdi bahwa masalah yang dihadapi oleh lembaga pendidikan ialah banyaknya norma dalam masyarakat sehingga sulit untuk menentukan norma mana yang harus diacu. Dalam situasi semacam ini, yakni adanya berbagai pandangan dan kriteria pilihan moral seperti yang terjadi dalam masyarakat Indonesia dewasa ini, yang penting adalah memberikan kesempatan kepada subjek didik untuk dapat mempelajari dan berlatih menentukan pilihan moral. Nilai-nilai pancasila seharusnya dijadikan landasan dalam menentukan pilihan, tidak cukup hanya dipahami apalagi hanya sekedar dihafal.
Pendidikan nilai-nilai pancasila dalam bentuk mata pelajaran, mata kuliah, atau penataran selama ini dapat digolongkan ke dalam metode langsung. Karena menggunakan metode langsung, ciri indoktrinasi tidak mungkin dihindari. Indoktrinasi menghasilkan dua kemungkinan. Pertama, nilai-nilai yang diindoktrinasikan diserap, bahkan dihafal luar kepala, tetapi tidak terinternalisasi apalagi teramalkan. Kedua, nilai-nilai tersebut diterapkan dalam kehidupan, tetapi berkat pengawasan pihak penguasa, bukan atas kesadaran diri. Dalam hal ini, nilai moral yang pelaksanaannya seharusnya bersifat sukarela (voluntary action) berubah menjadi nilai hukum yang dalam segala aspeknya memerlukan pranata hukum.
Sesuai dengan judulnya, secara konsep buku ini hadir untuk menawarkan Humanisasi Pendidikan sebagai bentuk sumbangsih ilmu terhadap dunia pendidikan pada umumnya, khususnya wajah pendidikan di Indonesia. Sasaran dari humanisasi pendidikan ini adalah menemukan kembali pendidikan yang manusiawi. Humanisasi pendidikan ini perlu segera dijadikan misi setiap jenjang pendidikan di Indonesia, supaya nilai-nilai dasar untuk mencapai keberhasilan benar-benar dijadikan landasan dalam pembentukan akhlak bangsa. Diantara nilai-nilai tersebut ialah integritas, kerendahan hati, kesetiaan, keberanian bertindak benar, keadilan, kesabaran, kerajinan, kesederhanaan, kesopanan, dan ketaatasasan (konsistensi). Hal ini dilakukan dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip dan kebiasaan dalam diri setiap subjek didik. Konsep ini sangatlah signifikan dengan tujuan pendidikan nasional yang sampai saat ini belum tewujud. Dengan Konsep pendidikan ini diharapkan dapat mencegah ketidakmanusiaan dan mencapai moralitas dalam pendidikan yang selama ini diimpikan.
Darmiyati sebagai pengarang yang berpengalaman berhasil menyajikan tulisannya secara tuntas dan sistematis sehingga buku ini tergolong karya tulis ilmiah (Referensi) yang utuh. Dalam penyajiannya dengan segala kerendahan hati Darmiyati tak lupa memasukan tokoh/konseptor yang sudah terkenal seperti Taksonomi Bloom dan Kohlberg sebagai tambahan nilai teori yang relevan dengan judul buku ini.
Dalam buku ini pengarang tampak memaksakan tujuan penulisan, yakni pemahaman yang lebih untuk mengkaji dan menelaah maksud yang ingin dicapai oleh pengarang. Sementara gaya bahasa dan istilah yang digunakan sangat baku dan ilmiah, sehingga pelajar atau masyarakat umum yang pemahaman bacanya kurang, tidak dapat mengkonsumsi isi buku ini.
Terlepas dari kekurangan yang ada, hadirnya buku ini “Humanisasi Pendidikan” menambah wawasan dan pengetahuan kita tentang nilai dalam prospek pendidikan. Buku ini merupakan sumbangan yang sangat berguna bagi dunia pendidikan di Indonesia.
Belajar Kami Adalah Bermain, Bermain Kami Adalah Belajar

Judul buku : Sang Pelopor
Pengarang : Alang-Alang Timur (nama pena)
Penerbit : DIVA Press
Cetakan : Pertama 2008
Jumlah Halaman : 354 halaman

Anda harus membacanya. Sungguh luar biasa. Ini tentang dunia anak-anak dan dunia pendidikan. Suatu kisah yang menawarkan tentang problem pendidikan yang dimulai dari bangku kanak-kanak. Berlatarkan kampung sawah, di desa Nengahan. Sebuah desa terpencil di Klaten, Jawa Tengah tempat alam mendidik dan menawarkan sejuta harapan.

Di bangku pendidikan, pernahkah anda mengalami ketegangan, ketakutan dan kejenuhan? Atau suatu ketidaksukaan pada mata pelajaran tertentu? Mungkin saja Anda masih menemui bangku pendidikan kita sekarang, di mana anak-anak tidak suka pada mata pelajaran tertentu karena takut pada gurunya. Sekolah menjadi penjara bagi anak didik yang terus didatangi hanya karena tuntutan orang tua. Bila bel sekolah berbunyi, pertanda kepulangan bagi siswa. Maka semua siswa akan berteriak merdeka terlepas dari kejenuhan. Inikah bangku pendidikan?
Bila anda ingin menjadi seorang pendidik, novel Sang Pelopor kiranya bisa menjadi cermin pendidikan yang menakutkan itu. Anda harus tersenyum pada kesalahan siswa bukan dengan menjewer telinga atau memaki. Inilah kisah dalam Sang Pelopor. Sebuah kisah yang menyorot pendidikan di bangku SD.

Sebuah kisah kesuksesan empat sekawan anak Kampung Sawah yang memilih pindah dari sekolah yang menjadi penjara yang menjenuhkan. Awalnya, Sultan tidak ingin ke sekolah karena ketakutan pada gurunya. Sebulan kemudian, Dia dikeluarkan dari sekolah dengan berbagai pertimbangan. Empat sekawan tetap memilih untuk bersama. mereka kemudian pindah ke Madrasah, sebuah sekolah yang sebenarnya tidak menjadi pilihan tetapi hanya sekolah itu yang mau menerima mereka. Sekolah inilah yang mengajarkan kebajikan. Di Madrasahlah mereka akhirnya mengenal “… belajar kami adalah bermain, bermain kami adalah belajar…” ( hal : 352). Bangku pendidikan tetap ditempuh tanpa merampas masa anak-anak. “… rasanya setiap hari kami bermain di sekolah ini. Semua mata pelajaran diajarkan dengan permainan….” (hal: 53). Di Madrasah pulalah diperkenalkan akan cita-cita dan tujuan mereka sekolah sekaligus menjadi cerminan peserta didik “…tujuan kalian sekolah di Madrasah apakah karena teman, berharap mendapat ijazah dengan angka-angka pada setiap bidang studi? Kalau motivasi kalian hanya sebatas itu maka kalian orang yang salah dan kalah. Sebab kalian tertipu oleh pandangan angka-angka bukan kebajikan diri. Sekolah belum dianggap berhasil kalau hanya mampu melahirkan orang-orang pintar, tapi pandai menipu.” (hal : 80-81)

Tidak hanya empat sekawan. Lewat bimbingan belajar adalah bermain dan bermain adalah belajar di sekolah Madrasah, mereka kemudian mulai mengenal teman yang lainnya lebih dekat bahkan sebagai saudara. Buku ini tidak hanya menyuguhkan persahabatan yang menjadi saudara, tapi perlahan-lahan mengantar pembaca untuk mengikuti suatu motivasi Sultan hingga sukses membuat berbagai percobaan listrik yang mampu menerangi Kampung Sawah di Desa Negahan. Cita- cita yang luar biasa dan mulia.

Suatu kisah yang menarik untuk terus maju. Percobaan demi percobaan dilakukan Sultan berkali-kali pula mengalami kegagalan. Inilah motivasi yang menarik ketika berkali-kali mengalami kegagalan. Bangkitnya Sultan dari kegagalan menjadi motivasi bagi yang lainnya untuk mau membuat berbagai percobaan. Semua mengalami kegagalan yang berbeda, namun berkat bimbingan dan motivasi dari guru yang bijak pula mereka pun pantang menyerah. “Bukan. Bukan kegagalan, melainkan kebelumsempurnaan yang suatu saat nanti pasti terbayar oleh keberhasilan.” (Hal : 316)

Buku ini tidak hanya akan mengingatkan anda tentang bangku pendidikan di masa lalu, tapi kemudian anda akan diajak membayangkan bagaimanakah bangku pendidikan seterusnya. Bagaimana cara mengajar yang bijak. Pengajar yang mampu membangkitkan motivasi yang memulai dari kecintaan siswa pada pelajaran.

Novel Sang Pelopor buku pertama trilogi (Titian Sang Penerus dan Jejak Sang Perintis) ini adalah ajakan dan ajaran tentang sekolah yang semestinya mengimbangi antara teori-teori dan akhlak yang baik untuk diterapkan di kehidupan sehari-hari. (Patadungan)

TENTANG SERTIFIKASI GURU

Pelaksanaan pendidikan selama ini malah menjadi sumber masalah daripada potensi pemecahan masalah. Kritikan pedas ini ditulis Winarno Surakhmad sebagai jawaban atas kasus pendidikan di Indonesia. Dalam benak sebagian dari kita masih bersarang virus kependidikan yang lebih gemar melihat ke belakang dan mengukur keberhasilan dari pencapaian masa lalu, bukan dengan potensinya yang relevan terhadap tantangan masa mendatang. Visi pendidikan bagi orang seperti itu adalah pendidikan yang berusaha menciptakan pemasungan bangsa yang direduksi menjadi bonsai sama sebangun dalam nalar, aspirasi, sikap, dan tutur kata bahkan dalam mimpi mereka. Hal ini seolah mewakili suara kritis sebagian pelaku pendidikan lainnya tentang problematika yang dihadapi oleh dunia pendidikan di Indonesia. Produk pendidikan Indonesia yang berkualitas rendah, berdaya pikir seragam, dan tidak mampu menjadikan dirinya sebagai tuan atas tubuhnya sendiri.

Meskipun demikian, pemerintah menjawabnya dengan rendah hati dan pasti yaitu salah satunya adalah sertifikasi guru. Ketika sertifikasi guru mulai direalisasikan, saya kira angin segar sedang mendesir ke wajah-wajah kaum oemar bakri di seantero negeri ini. Ada senyum di balik keringat mereka yang menyusun portofolio atau yang sedang mengikuti diklat sertifikasi. Ada harapan baru yang memungkinkan anak-anak mereka bermimpi punya mainan baru atau sekadar menenteng kado saat menghadiri pesta ulang tahun anak tetangga. Juga banyak kegembiraan lain yang menyertai kehadiran sertifikasi sebagai oase di gurun yang luas.

Namun, apakah sertifikasi hadir hanya untuk memenuhi kesejahteraan? Ataukah ada segudang harapan dalam cita-cita pendidikan yang lebih mulia dengan menimbang profesionalisasi kerja dan misi mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tertuang dalam UUD 45? Saya kira Anda akan sepakat bila saya mengatakan bahwa sertifikasi bukan pemenuhan atas tuntutan kesejahteraan guru selama ini. Ia tidak hadir percuma sebagai imbalan atas usia kerja dan pengabdian pahlawan tanpa tanda jasa. Sebab 20% anggaran pendidikan dan sertifikasi menuntut situasi berbeda dari sekedar latihan baris-berbaris dan hafalan lagu Indonesia Raya. Pertanyaannya adalah seperti apa para guru menafsirkan sertifikasi atau hanya dianggap sebagai kompensasi atas jasa yang tidak pernah diberi tanda?

Soalan yang kemudian muncuat adalah, adakah yang berbeda dari segi materi, metode atau strategi dan evaluasi belajar dari para guru yang sudah disertifikasi? Apa bentuk profesi yang dititipkan program sertifikasi sehingga guru patut menenteng sertifikat yang memungkinkannya menerima dua kali gaji dasar? Adakah patron yang jelas untuk mengukur perubahan sikap mengajar guru untuk mengecek kemajuan yang membedakannya dari mereka yang sedang menanti giliran disertifikasi?

Sikap skeptis ini bukan tanpa alasan. Cermatilah dengan baik berapa guru yang sesungguhnya memiliki kuantitas lebih dalam mengikuti seminar atau pelatihan relevan lalu bandingkan kualitas serapan pengetahuan dari kegiatan semacam itu. Atau jangan-jangan piagam penghargaan, karya tulis ilmiah, penelitian tindakan kelas dan atau berkas lainnya yang disertakan dalam portofolio malah sama asingnya dengan tujuan utama sertifikasi itu sendiri?

Ini hanya sekadar kegelisahan pribadi dan bukan upaya menghalang-halangi niat baik pemerintah dalam membangun pencitraan dirinya. Meski monitoring dan evaluasi program perlu dilakukan agar dapat kita mengambil simpulan yang jelas sebagai landasan keberlanjutan program. Karena lepas dari ini semua, batasan tentang profesionalisme dan rambu-rambu evaluasinya sedapat mungkin selaras dengan angin segar yang mengendus di balik senyum guru-guru kita.

Tapi apapun itu, kalau kesejahteraan guru diabaikan maka kualitas pendidikan digadaikan.

Masyarakat Tidak Membaca

Dalam Anugerah SEA Write Award 1997, Seno Gumira Ajidarma menyampaikan pidato yang pelan dan tajam sebagai bentuk renungan yang patut kita apresiasi. Katanya, “Saya berasal dari sebuah negeri yang resminya sudah bebas buta huruf, namun yang bisa dipastikan masyarakatnya sebagian besar belum membaca secara benar – yakni membaca untuk memberi makna dan meningkatkan nilai kehidupannya. Masyarakat kami adalah masyarakat yang membaca hanya untuk mencari alamat, membaca untuk mengetahui harga-harga, membaca untuk melihat lowongan pekerjaan, membaca untuk menengok hasil pertandingan sepakbola, membaca karena ingin tahu berapa persen discount obral di pusat perbelanjaan, dan akhirnya membaca subtitle opera sabun di televisi untuk mendapatkan sekadar hiburan.”

Tidak berlebihan bila saya mengatakan bahwa apa yang disampaikan Seno adalah tentang kita sendiri. Tentang perhatian kita yang selalu lebih tertuju pada hal-hal pragmatis dan instan dalam hidup dan sama sekali tidak berupaya meningkatkan nilai mutu diri sebagai manusia berpengetahuan.

Di sini, di Sulawesi Tenggara, kita menghadapi hal yang nyata dan gamblang bahwa membaca - dalam arti sesungguhnya- bukan satu kebutuhan mendasar dalam pergaulan. Lihat para remaja kita yang merengek minta hp dan sama sekali tak pernah merasa kurang bila tak punya buku. Tengok kamar para aktivis mahasiswa atau pelajar secara umum berapa jumlah koleksi buku mereka dibanding perlengkapan kecantikan dan koleksi pakaian distro yang disusun rapi di meja rias dan di lemari pakaian. Dan terutama, seberapa sering intensitas kita dalam kegitan bedah buku dibanding diskusi tentang caleg dan segudang kampanye tim sukses yang saya kira bahkan kurang paham politik secara metodologis.

Di kampus-kampus, yang seharusnya bertanggung jawab menjaga stabilitas keilmuan dan garis akhir penentu kualitas generasi, tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai corong akademik karena mahasiswanya lebih cenderung jadi makelar demonstrasi yang sibuk mengurusi pemenang tender proyek dan dukungan gonta-ganti pejabat di eselon tertentu di daerah ini. Aneh bin ajaib, keadaan ini –bagi kita- sama sekali dianggap bukan sebagai apa-apa bahkan tetap merasa memang tidak sedang terjadi apa-apa.

Ada banyak contoh, misalnya para pelajar SMP maupun SMU yang menghadapi ujian akhir sama sekali tidak pernah merasa gelisah tentang materi pelajaran yang akan diujikan. Mereka rata-rata panik dan bingung siapa yang harus dihubungi untuk mengirimkan kunci jawaban melalui pesan pendek. Juga sedikit sekali kekaguman dari para pelajar kita tentang prestasi peserta olimpiade sains karena mereka lebih mengagumi grup band baru atau pesinetron muda yang segera diikuti dengan trend mode baik pakaian maupun gaya rambut.

Para pelajar kita tetap biasa-biasa saja bila catatan guru pada rapor mereka adalah kritikan atau nasehat bahkan mereka cenderung tidak ingin memperlihatkannya pada orang tua atau wali. Sekarang dan sampai kapanpun keadaan ini akan terus berjalan karena sesungguhnya yang tidak ada pada kita adalah kesadaran akan hidup bermakna tadi. Dan yang lebih parah adalah bahwa mereka tetap merasa telah memiliki segalanya.

Adakah pertanyaan yang patut kita jawab?



anto