Sabtu, 04 Juli 2009

BUDAYA

POTENSI KEBUDAYAAN SULTRA
ALTERNATIF DESTINASI PARIWISATA INDONESIA YANG TERTUNDA

Masyarakat awam mengetahui wujud kebudayaan lokal berkaitan dengan kesenian, adat kebiasaan, dan tradisi berupa nilai – nilai positif yang mewarnai kehidupan pada masyarakat di suatu daerah.
Secara implisit mereka telah memahami bahwa wujud kebudayaan tersebut berkenaan dengan ide-ide/gagasan, norma, nilai, dan peraturan yang terungkap melalui atraksi seni budaya. Namun, masih banyak dari kita yang belum sadar akan jumlah benda-benda cagar budaya (artefak), seperti benda materi, lokasi yang mengandung atau diduga Benda Cagar Budaya (BCB), dan lingkungannya (situs) adalah wujud dari kebudayaan. Hal inilah yang merupakan spesifikasi bidang kajian ilmu arkeologi.
Pemerintah daerah dan masyarakat Sulawesi Tenggara seharusnya merasa bangga karena daerah ini memiliki beragam potensi atau peninggalan kebudayaan. Sesuai akumulasi data yang terhimpun berdasarkan keragaman lima etnis besar di Sultra (Buton, Muna, Tolaki, Wakatobi dan Moronene) maka dapat disimpulkan bahwa potensi yang dimaksud terdiri dari; (1) Upacara tradisional yang diatraksikan misalkan pada saat pesta panen, pesta perkawinan, pesta kematian, bangun rumah, peringatan hari besar Islam, upacara pingitan, dan upacara lainnya berjumlah 55 jenis; (2) Ceritera rakyat/folklor sebagai cerita yang diwariskan secara turun-temurun berjumlah 76 jenis; (3) Permainan tradisional berjumlah 61 jenis; (4) Tarian tradisional berjumlah 30 jenis; dan (5) Lagu-lagu berbahasa daerah khas Sultra berjumlah 38 jenis.
Data Potensi selanjutnya berdasarkan UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang tersebar pada ratusan situs di wilayah kabupaten dan kota se-Sulawesi Tenggara. Berdasarkan keragaman potensi tersebut maka pada kurun waktu tahun 2000 hingga 2006, Pusat Data dan Informasi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI, telah mencatat dan melaporkannya dalam bentuk buku yang berjudul “Statistik Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia”. Dijelaskan bahwa Sulawesi Tenggara merupakan provinsi kedua yang memiliki situs terbanyak dari 30 provinsi di Indonesia setelah D.I Yogjakarta.
Banyaknya situs yang sangat fantastik, sesuai dengan data statistik yang terdiri atas; 595 situs, 175 situs di antaranya dipelihara dan dilengkapi dengan 270 juru pelihara. Situs yang dimaksudkan adalah kompleks Liang atau gua prasejarah Muna, ratusan benteng peninggalan kerajaan/Kesultanan Wolio, bunker/terowongan peninggalan Jepang, makam-makam tua baik sultan maupun raja-raja daerah, rumah adat (Kamali), bangunan profan maupun sakral berupa mesjid, gereja, gudang, kampung tua/tradisional, Under Water Heritage berupa kapal karam (peninggalan bawah air) yang tersebar di beberapa kepulauan, batu megalit, dan masih banyak lagi situs yang tidak dapat disebutkan satu persatu di tulisan ini.
Jumlah situs ini akan semakin bertambah jika secara signifikan terus dilakukan penggalian dan pencarian berupa observasi/survei/identifikasi/inventarisasi yang intensif. Misalkan saja pada tahun 2006 yang lalu telah ditemukan beberapa situs berupa gua prasejarah dan perkampungan tua oleh para arkeolog dari Prancis di daerah Lasolo (data Kebudayaan, Baparsenibud Sultra).
Pertanyaannya sekarang adalah “Mengapa data Potensi Kebudayaan Sultra yang begitu luar biasa tersebut tidak terekspos, tidak begitu penting, cenderung tidak diperhatikan, dan dianak tirikan dalam berbagai bentuk program?” Kebanyakan persepsi dan animo masyarakat maupun pemerintah kita masih banyak yang beranggapan (mengutip kata-kata seorang rakyat Sultra) bahwa; “Kebudayaan itu hanya memori masa lalu tidak perlu dibahas karena tidak bermanfaat”.
Anehnya, ada pula orang-orang yang bukan profesional di bidang tersebut memaksakan kehendak untuk berbuat hanya karena ada kepentingan belaka. Belum lagi mengenai alasan Sumber Daya Manusia (SDM) yang katanya terbatas. Hal ini tentu sangat mengherankan untuk saya pribadi dan semua rekan-rekan pecinta kebudayaan Sultra tentunya. Padahal, jika kita semua mau jujur, potensi kebudayaan ini apabila dilestarikan dan dimanfaatkan secara benar akan membawa dampak positif bagi pembangunan. Kemudian hal itu secara sadar menjadi modal dasar pembangunan daerah guna membentuk citra bangsa dan jati diri daerah.
Potensi kebudayaan Sultra ini sangat langka dimiliki oleh daerah lain di Indonesia sehingga harus diperhatikan dan wajib menjadi prioritas pembangunan serta menjadi alat utama penunjang kemajuan pariwisata daerah.
Pekerjaan rumah untuk kita semua, paling tidak dapat menghilangkan image mengenai pertanyaan di atas. Sebagai himbauan kepada masyarakat Sultra, Anggota DPRD di Komisi yang membidangi dan pemerintah daerah provinsi, kota dan kabupaten se-Sultra sudah seharusnya mengerti dan memahami; (1) Nomenklatur tentang kebudayaan dan pariwisata, yakni kebudayaan yang bertumpu pada keunikan dan kekhasan (budaya dan alam) menjadi aset bangsa dan daerah yang menguasai seluruh pranata sosial (hubungan antar manusia) di segala bidang. Ini merupakan modal utama pembangunan di segala aspek terutama bidang pariwisata sehingga nantinya terlahir sebuah kalimat, “Kebudayaannya dulu dong yang dibangun baru bahas promosi pariwisatanya” (Baca: Instruksi Presiden RI Nomor 16 Tahun 2005 tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata); (2) Dituntutnya kesadaran positif tentang beralihnya museum negeri dan taman budaya ke UPTD Badan Pariwisata dan Seni Budaya Prov. Sultra (Baca: SK Gubernur Sultra No. 28 Tahun 2006 dan Peraturan Gubernur Sultra No. 37 Tahun 2006); (3) Pengusahaan dan rekomendasi usulan tentang dibentuknya Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) dan Balai Arkeologi (Balar) di Sultra. Mengingat kedua balai vertikal ini merupakan UPTD Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI, yang selama ini untuk wilayah Sultra dikelola oleh Makassar. Tentunya Efektifitas kinerja, pengelolaan, pelestarian dan pengawasan menjadi sangat terbatas. Selain itu, dana APBN khusus pemugaran situs dan penelitian dibidang kebudayaan yang didistribusikan untuk kedua balai tersebut menjadi samar-samar bagi kita di daerah. Sudah saatnya Sultra memiliki kedua balai tersebut mengingat banyaknya potensi kebudayaan Sultra yang harus segera dilestarikan; (4) Mendesak dan melobi secara serius pemerintah pusat agar memberikan bantuan APBN berupa dana Dekon maupun dana Penunjang, khusus untuk pembangunan kebudayaan dan pariwisata daerah Sultra yang selama ini tidak pernah diterima. (Baca: Program/Kegiatan Renja APBD dan APBN Baparsenibud Prov. Sultra Tahun 2008 dapat dijadikan sebagai acuan); (5) Menjadikan dan mempelajari Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) di provinsi maupun daerah kabupaten dan kota se-Sultra sebagai petunjuk, pedoman, dan bahan spesifikasi tentang pemintakan kawasan pariwisata yang ditunjang dengan potensi kebudayaan masing-masing daerah; (6) Ciptakan optimisme bahwa industri kepariwisataan merupakan ‘Mega industri’ dan diperkirakan akan menjadi salah satu penggerak utama perekonomian abad ke-21. Hal ini didukung oleh World Travel & Tourism Council (WTTC) yang memprediksi bahwa industri pariwisata akan menggerakkan mobilitas wisatawan internasional hingga 850 juta wisatawan di seluruh dunia. Selain itu, organisasi wisata dunia World Tourism Organisation (WTO) menyatakan bahwa pariwisata memiliki prospek yang sangat cerah, bahkan diprediksi pariwisata dunia akan mengalami pertumbuhan rata-rata 4,2 % per tahunnya hingga tahun 2010. Dan salah satu kawasan yang akan mengalami tingkat pertumbuhan terbesar adalah negara-negara di Asia, termasuk Indonesia. Sebagai informasi bahwa di Indonesia, sektor pariwisata merupakan penghasil devisa negara kedua setelah sektor migas.
Pada prinsipnya, kekuatan akan majunya pariwisata di Indonesia karena keberadaan potensi kebudayaannya. Denpasar-Bali, D.I Yogjakarta, Jakarta, Semarang, Bandung, Palembang, bahkan daerah baru Kutai Kertanegara terlihat maju kepariwisataannya karena mengedepankan pembangunan kebudayaan daerahnya yang memiliki keunikan dan kekhasan alam dan budaya mereka. Pengembangan dan kerja sama kemitraan antara lembaga-lembaga pariwisata seperti PHRI, ASITA, PUTRI, HPI dan perguruan tinggi pariwisata lainnya oleh pemerintah perlu terus ditingkatkan.
Kemudian muncul kembali pertanyaan, “Mampukah kita seperti daerah-daerah tersebut di atas?” Jawabannya tentu mampu, selama kita masyarakat, pemerintah, dan wakil rakyat di Sultra serta lembaga-lembaga (NGO) kebudayaan dan pariwisata daerah bekerja sama. Kita bersama-sama bersatu untuk mengedepankan dan memprioritaskan pembangunan kebudayaan daerah guna kepentingan pariwisata ke depannya. Dengan cacatan menggenjot, memfungsikan, dan memanfaatkan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) profesional dan lembaga yang sudah ada untuk mengelola potensi kebudayaan Sulawesi Tenggara melalui program/kegiatan yang tentunya masuk akal dan terukur.
Semoga destinasi pariwisata berikutnya terfokus di daerah Sulawesi Tenggara. Maju terus daerahku, tambahkan satu titik hingga garis destinasi pariwisata itu ke arahmu. Salam Kebudayaan dan Pariwisata.
La Ode Ali Ahmadi, S.S (Archaelogy)
(Staf Baparsenibud Sultra)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar