Sabtu, 04 Juli 2009

Bahasa Wolio Terancam Punah

Kedudukan Bahasa Wolio Pada Masa Kesultanan Buton
Sebelum ada negara Indonesia, masyarakat yang bermukim di wilayah Kesultanan Buton menggunakan bahasa Wolio sebagai alat komunikasi utama. Posisi bahasa Wolio sebagai bahasa utama menjadikan bahasa Wolio sebagai bahasa persatuan dan alat penghubung antarmasyarakat Buton yang memang terdiri atas beberapa subetnis.
Pilihan penggunaan bahasa Wolio sebagai bahasa utama disebabkan oleh dua hal. Pertama, masyarakat yang berada dalam wilayah Kesultanan Buton terdiri atas beberapa subetnis seperti etnis Wolio, Muna, Wakatobi, Cia-Cia, dan Bajo. Semua etnis ini didukung oleh bahasa yang berbeda-beda dan hanya digunakan di dalam kelompok-kelompok etnik tersebut. Keanekaan bahasa yang ada di dalam masyarakat Kesultanan Buton tersebut yang menyebabkan dan menjadikan bahasa Wolio menjadi bahasa utama atau bahasa persatuan di Kesultanan Buton. Kedua, pada masa Kesultanan Buton, bahasa Wolio merupakan bahasa yang dipakai oleh masyarakat yang mendiami pusat Kesultanan Buton. Posisinya sebagai bahasa sehari-hari di pusat pemerintahan sangat memungkinkan bahasa Wolio menjadi bahasa resmi dalam masyarakat Kesultanan Buton. Kondisi itu tidak lepas dari kultur pemerintahan pada masa kerajaan dan kesultanan yang umumnya menjadikan ‘bahasa pusat pemerintahan’ sebagai bahasa utama dan alat komunikasi antaretnik yang berada dalam wilayah kekuasaannya.
Dua hal yang dipaparkan di atas diduga kuat menjadi penyebab ditetapkannya bahasa Wolio sebagai bahasa persatuan masyarakat Kesultanan Buton, baik itu dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja. Gani dkk. (1986) dalam sebuah laporan penelitian terhadap bahasa Wolio mengatakan bahwa bahasa inilah (bahasaWolio) yang pada masa lampau dipilih sebagai bahasa resmi Kerajaan Buton. Oleh karena itu, bahasa Wolio juga lebih dikenal dengan nama bahasa Buton. Bahasa ini juga memiliki aksara tersendiri yang disebut huruf Serang yang diambil dari huruf Arab. Aksara Serang dapat dibuktikan dengan masih ditemukannya peninggalan-peninggalan berupa naskah.

Kondisi Terkini Bahasa Wolio
Paparan mengenai kedudukan bahasa Wolio pada masa Kerajaan dan Kesultanan Buton, mengingatkan kita terhadap kedudukan bahasa Wolio pada masa kini. Pertanyaan yang muncul mengenai bahasa Wolio adalah masihkah peran dan fungsi yang diemban bahasa Wolio pada masa Kerajaan sampai pada masa Kesultanan Buton tetap terlestarikan? Saya sulit untuk mengatakan bahwa peran dan fungsi bahasa Wolio pada masa Kerajaan dan Kesultanan Buton masih tetap terlestari sampai saat ini.
Pada bulan Februari tahun 2007, saya melakukan pengidentifikasian kosa kata dasar bahasa Wolio. Ternyata, beberapa informan yang berusia muda mengalami kesulitan dalam menyebutkan kosakata dasar bahasa Wolio secara tepat. Generasi muda pemakai bahasa Wolio cenderung mendeskripsikan istilah-istilah yang ada dalam bahasa Wolio. Dengan kata lain, generasi muda penutur bahasa Wolio cenderung menjelaskan istilah-istilah yang ada dalam bahasa Wolio padahal istilah-istilah tersebut memang ada kosakata dasarnya dalam bahasa Wolio. Penutur bahasa Wolio berusia muda mengalami kesulitan dalam menyebutkan nama-nama istilah yang ada dalam bahasa Wolio. Kondisi ini masih lebih ‘beruntung’ jika dibandingkan dengan kenyataan bahwa generasi muda etnik Wolio cenderung menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Wolio.
Perhatikanlah peristiwa komunikasi yang terjadi antaranak yang beretnik Wolio. Bahasa apa yang mereka gunakan? Pertanyaan yang saya hadirkan ini terkait dengan pengakuan salah seorang masyarakat Kota Baubau yang beretnik Wolio yang dengan jujurnya mengatakan bahwa anak-anaknya tidak menggunakan bahasa Wolio walaupun mereka berkomunikasi di dalam rumah.
Peristiwa seperti itu bukan saja terjadi pada salah seorang keluarga Wolio tersebut. Saya juga mencermati keprihatinan salah seorang generasi muda pemakai bahasa Wolio yang berucap bahwa ‘bholimoadhi pogau Indonesia, podho-podho ingkita mina iwolio’. Maksudnya adalah ‘janganlah pakai bahasa Indonesia, sama-sama kita dari Wolio atau sebaiknya kita menggunakan bahasa Wolio ketika kita berkomunikasi sesama orang Wolio.
Ucapan ini disampaikan kepada temannya yang juga penutur bahasa Wolio yang ‘suka’ menggunakan bahasa Indonesia walaupun lawan bicaranya adalah penutur bahasa Wolio. Generasi muda Wolio tersebut khawatir melihat gejala pergeseran pilihan bahasa yang digunakan oleh masyarakat beretnik Wolio, khususnya pada kalangan penutur usia muda.
Kondisi yang dipaparkan di atas merupakan beberapa gejala yang dialami suatu bahasa daerah menuju kepunahan. Masyarakat Wolio yang mampu menguasai bahasa Wolio ragam halus tinggallah penutur berusia tua, sedangkan penutur berusia muda masih ‘beruntung’ jika mereka masih menguasai bahasa Wolio ragam kasar.

Upaya Pemertahanan dan Penyelamatan
Masalah yang dialami bahasa Wolio perlu dicarikan solusi tepat untuk mengembangkan peran dan fungsi bahasa Wolio. Semua pihak yang memiliki kepedulian terhadap salah satu kekayaan bangsa berupa bahasa ini sebaiknya duduk bersama menelaah dan mencari solusi yang tepat. Tujuannya adalah agar bahasa Wolio tetap menjadi alat komunikasi di antara sesama warga Wolio.
Salah satu upaya pemertahanan penggunaan bahasa Wolio yang pernah diupayakan oleh Pemerintah Kota Baubau dan Kabupaten Buton melalui Dinas Pendidikan Nasional adalah dengan menjadikan bahasa Wolio sebagai salah satu muatan lokal di tingkat Sekolah Dasar. Melalui muatan lokal, siswa usia dini diharapkan mampu menguasai bahasa Wolio dengan baik. Akan tetapi, setelah beberapa tahun muatan lokal ini berjalan, belum ada tanda-tanda keberhasilan program ini. Sudah efektifkah solusi itu? Belum ada sebuah laporan yang resmi.
Melalui tulisan ini, saya menyarankan kepada guru muatan lokal bahasa daerah Wolio agar tidak hanya mengajari siswa untuk mengenal dan mampu menggunakan bahasa Wolio, tetapi juga guru harus memberikan pemahaman kepada siswa bahwa bahasa Wolio bukan sekedar alat komunikasi selain bahasa Indonesia, melainkan bahasa Wolio juga sebagai penanda jati diri, penanda hubungan kekerabatan, lambang identitas etnis, dan kekayaan bangsa yang diwariskan sebagai alat komunikasi dalam etnik Wolio.
Sebagai generasi penerus, masyarakat pemilik bahasa Wolio harus berupaya untuk tetap mempertahankan dan melestarikan bahasa Wolio karena bahasa sebenarnya menunjukkan bangsa, identitas, dan hubungan kekerabatan. Oleh karena itu, mari bangkitkan kembali semangat untuk menghargai kekayaan budaya bangsa.

Asrif ( Peneliti Bahasa, Bekerja di Kantor Bahasa Prov. Sultra. )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar