Sabtu, 04 Juli 2009

CERPEN

KARMAN

Ini adalah sebuah kisah nyata. Oleh sebab terlalu nyata kejadian ini, hingga dia yang mengalaminya pun tidak percaya bahwa dia telah mengalaminya. Seperti biasa, Karman selalu tidur di ranjang dengan sebuah kelambu berwarna putih. Mudah dipahami mengapa ia tidur di ranjang atau mengapa ia memakai kelambu. Pertama, karena lantai semen rumahnya terlalu dingin untuk tubuhnya yang kurus kerempeng itu, dan kedua, karena nyamuk di kamarnya serupa bising pesawat saat kita berada dekat bandara.
Karman sudah dua tahun tinggal di kamar itu. Sebuah ruangan berukuran 3 x 3 meter, dilengkapi ranjang kayu yang hampir lapuk, kasur yang terbuat dari kapuk dan tentu saja sebuah poster seorang artis ibu kota. Tentang poster artis ibu kota ini sengaja ia ditempelkan di sana agar setiap kali Karman hendak tidur selalu tampak senyum dan binar matanya. Isi kamar yang berpintu darurat itu adalah ada sebuah meja kayu dengan kursi plastik dan menumpuk diktat kuliah di atasnya di pojok kanan, lemari plastik yang sudah tanggal resletingnya dan tak ketinggalan lantai kamar yang bolong-bolong karena galian tikus. Barangkali rumah ini lebih tua dari Karman, dan tentu kamar dan ranjangnyapun lebih berpengalaman dari Karman.
Tapi bukan tentang isi kamar yang hendak saya ceritakan di sini. Melainkan sebuah keadaan mengejutkan yang seharusnya tidak boleh dialami Karman. Saya bahkan tidak berani, pun dengan membayangkan apa yang sudah dia ceritakan kepada saya. Bagaimana tidak. Semalam kira-kira pukul dua belas tengah malam, saat ia hendak tidur dan telah tuntas urusan membereskan kasur dan kelambunya, ia merasa seperti ada suara-suara aneh memanggil namanya. Dengan pelan dan kurang fasih suara itu memanggil ”Karmaaaannn.............., Ka............rrrrrrrman, Kar........................man,” berkali-kali. Namun dalam keadaan setengah sadar dan kantuk terlalu kuat untuk dilawannya, ia tak menghiraukan. ”Barangkali ini hanya mimpi atau halusinansi” batin Karman. Lalu ia tertidur. Tapi anehnya, tiba-tiba ia merasa ribuan ekor nyamuk menyerangnya. Seolah nyamuk ini hendak mengangkatnya terbang dan membawanya ke dunia entah. Karman memberontak. Pertempuran Karman dengan nyamuk tentu tidak seperti sengitnya perang antara Palestina dan Israel di Jalur Gaza. Ketika nyamuk kelelahan dan istrahat, Karman juga istrahat. Lalu diambilnya bantal guling agar lekat dalam dekapannya.
Karman memeluk erat bantal gulingnya. Ia mendekapnya seolah gambar artis ibu kota di posternya itu menjelma bantal gulingnya. Pelan dan lembut Karman membalikan badan. Hanya saja ada keganjilan di sana. Ketika bantal guling itu hendak diangkatnya, semacam ada perlawanan dari bantal guling ini. Ia mencoba lagi hingga pada hitungan kali ketiga ia tetap gagal dan bantal guling ini seolah menariknya. Karman gelisah. Ia merasa diabaikan bantal gulingnya sendiri. Ia kesal dan dalam hati ia mulai berjanji akan melemparkan bantal guling ini esok hari di kali dekat kebun jagung milik pamannya.
Perjuangan Karman mengajak bantal gulingnya tak berhenti sampai di situ. Ia mulai tak bisa mengendalikan diri dan amarahnya memuncak. Saya kira siapapun akan merasa bahwa bantal guling ini layak dicurigai kesetiaannya. Bantal guling yang sudah lusuh, bau dan berdaki. Mungkin usianya lebih tua sedikit dari Karman. Kesadaran Karman pulih akibat akumulasi kejengkelan pada bantal guling dan persiapan menunggu gempuran nyamuk. Dalam keadaan sadar ini, Karman merasa tidak adil menuduh bantal guling tanpa alasan. Ia mencoba memanjangkan kakinya menelusur bantal gulingnya. Namun, pada kulit betisnya ia merasakan dingin yang berbeda. Bukan dari sarungnya yang bolong atau karena kelambunya sudah tersibak. Dingin yang mewakili sebuah keganjilan. Dipanjangkannya lagi kakinya, dan ada semacam lendir pada sarung bantal gulingnya.
Pikiran Karman pun mulai tidak seperti biasanya. Ia mulai menduga-duga keadaan. ”Jangan-jangan.......” ucap Karman dalam hati. Secepat kilat tangan kiri karman mengambil ponselnya yang memang selalu ia aktifkan meski dalam keadaan tidur. Ia pencet salah satu tombolnya dan astaga, seekor ular berwarna coklat keemasan dengan kulit bercorak batik kotak-kotak kecil dengan bis kuning di setiap sisi perseginya telah menemani tidurnya entah sejak jam berapa. Rupanya prosesi tarik menarik dengan bantal guling tadi adalah seekor ular seukuran paha orang dewasa dengan panjang lebih dari ukuran kamarnya. Karman secara refleks melompat dari ranjangnya. Seperti jurus dalam ilmu meringankan tubuh, Karman terpental dari ranjang itu dan membiarkan makhluk tak diundang itu menggeliat sendirian di ranjang Karman. Kaget bercampur takut menyatu dalam wajah Karman yang pucat pasi. Bagaimana tidak. Seokor ular sebesar paha orang dewasa dengan panjang lebih dari tiga meter, telah menjadi teman tidurnya selama entah berapa jam.
Rambut keriting Karman tiba-tiba menjadi lurus ke atas semuanya. Sebab setelah lolos dari sisi ular besar itu, di kakinya menumpu ternyata bukan pada semen dingin sebagaimana harapannya. Tapi, ia menginjak dua ekor ular sebesar anak pohon pepaya. Nyawa Karman tertahan di tenggorokannya, ketika ia merasa tubuhnya seringan kapuk kasurnya. Secepat kilat ia melompat ke kursi plastik di pojok kanan kamarnya. Sekeliling Karman tiba-tiba menjadi ruang penangkaran ular dan kali ini ia merasa bahwa kamar yang dia bersihkan setiap pagi dan sore itu telah menghianatinya. Pelan ia menyalakan lampu neon 25 watt, lalu grendel jendela dilepaskan dari pengaitnya. Senjata terakhir harus ia keluarkan yaitu lari terbirit-birit sambil berteriak minta tolong kalau-kalau tiga ekor ular itu menunju ke arahnya. Ia tak lagi peduli pada apapun bahkan pada pesan ayahnya agar jangan pernah melompati jendela rumah. Ia merasa hidupnya sedang sekarat dan terlalu sadis bila ia terpaksa harus mati di perut ular gila itu. Lagi pula Karman tak punya apa-apa sebagai senjata dalam keadaan seperti ini. Meskipun kamarnya berhadapan langsung dengan dapur, ia merasa sangat kesulitan bahkan untuk mengambil pisau pengiris bawang atau sapu lidi yang juga sudah hampir rontok itu.
Karman menarik napas. Ular sebesar paha orang dewasa turun perlahan dari ranjang Karman. Tidak ada kata terima kasih dari desis ular itu atau kerling mata tanda pamit atau semacamnya. Pelan dan lambat, semacam slow motion dalam adegan film laga ular ini merayapi semen lantai kamar Karman. Dan dua ekor ular di bawahnya lincah dan sigap mengikutinya dari belakang lalu menelusup masuk ke lubang lantai kamar itu.
Karman yang malang. Kali ini bahkan ia tak menoleh pada poster cantik artis ibu kota itu. Ia masih dibalut rasa takut dan kaget. Butiran-butiran keringat mengguyur sekujur badannya. Rambut keritingnya sudah kembali normal dan sepuluh jari-jarinya masih bergetaran seperti sebuah gerak pelamasan otot yang dipaksakan.
Ini adalah kisah nyata. Oleh sebab terlalu nyata kejadian ini, hingga dia yang mengalaminya pun tidak percaya bahwa dia telah mengalaminya. Ia dilanda trauma yang dalam. Ia tak percaya pada apapun saat ini, bahkan pada bantal guling yang selama ini setia menghangatinya. Ia tak percaya pada kasur dan kelambunya. Ia tak percaya lagi pada lantai semen kamarnya, kecuali kursi plastik usang yang pernah menyelamatkan nyawanya. ” Sampai kapanpun saya tidak akan lagi pakai bantal guling kalau saya tidur. Dan kepada semua yang telah mengetahui cerita saya ini, jangan pernah membayangkan seperti apa rasanya tidur seranjang dengan ular, apalagi ia ular betina.” kata Karman sambil menyerup ampas kopinya.

Kendari, 23 Maret 2009
Irianto Ibrahim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar