Sabtu, 04 Juli 2009

CERPEN SRI LESTINA

Sri Lestina lahir di Ereke, 4 Desember 1983


KOIN DI ATAS TAI AYAM


Tanggal tua. Selalu seperti penantian berabad-abad lamanya bagi Alya. Upah buruh biasa seperti dirinya sampai kiamat pun tak akan pernah bisa membuat hidupnya sejahtera, apalagi kaya raya. Alya tahu itu. Tapi, mau bagaimana lagi. Menjadi buruh bulanan di perusahaan perikanan terbesar di Kota Kendari itu merupakan satu-satunya lubang yang mengalirkan rizki yang menghidupi dirinya dan anaknya Rahmat selama ini, sejak setelah suaminya pergi meninggalkannya merantau di negeri yang jauh, Batam.
Dalam seminggu ini Alya seperti sudah kehabisan nafas. Di dapurnya tak ada lagi bau ikan, yang ada hanyalah aroma mi instant yang juga sudah berhenti sejak tiga hari yang lalu. Kemudian yang mengisi perutnya sampai hari ini tinggal nasi putih dan air. Tak ada lagi uang untuk beli lauk.
Didorong rasa kasihan kepada anak semata wayangnya yang masih berusia dua tahun itu, dengan sekuat tenaga pagi tadi dia memberanikan diri mengeluarkan kata memalukan itu lagi. Nambah utang, sebutir telur. Alya tahu, anaknya butuh gizi untuk pertumbuhannya. Biarlah hidupnya kurus kering. Yang penting anakku sehat, agar masa depannya lebih baik dari diriku, pikirnya.
Matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Alya masih duduk termenung memikirkan apa yang akan dimakannya malam ini, dan juga besok pagi. Baru saja tadi dilihatnya ember plastik tempatnya menyimpan beras menampilkan butiran-butiran menyedihkan yang tak akan cukup memenuhi ganggamannya. Sementara hari yang dinanti untuk terima upah masih dua hari lagi.
Parahnya, Alya merasa bahwa penyakit batuknya semakin parah akibat bekerja di ruangan bersuhu dingin sepanjang hari tanpa disertai minum obat yang teratur. Selama ini yang mampu dibelinya hanyalah obat murahan yang tak mungkin mampu menyembuhkannya secara total. Tapi itulah yang dikonsumsinya selama ini yang membuatnya sampai saat ini masih bisa bertahan bekerja menghidupi anak dan dirinya meski pas-pasan.
Uangnya kini tinggal kepingan-kepingan koin yang hitungannya berjumlah lima ratus kurang lima puluh rupiah. Ya, empat ratus lima puluh rupiah. Itulah uang di tangannya saat ini. Tadi pagi sudah dihitungnya.
“Malam ini aku dan anakku makan apa?” Alya melirik anaknya yang sedang memainkan mobil-mobilan di atas lantai beralas plastik lusuh. Anak itu terlihat sudah menguasai ruangan tiga kali empat yang dibayarnya 60 ribu per bulan itu. Mulut mungilnya sekali-sekali menirukan suara derum mobil yang terdengar menggemaskan. Wajahnya yang polos tak mempedulikan kegelisahan ibunya yang dari tadi memandanginya dengan sedih sambil menahan air mata haru dan sedih. Terharu karena anaknya sudah besar dalam asuhan dan cucuran keringatnya selama setahun lebih ini. Ayahnya sudah tak terdengar beritanya. Alya berfikir mungkin suami yang dinikahinya empat tahun lalu itu sudah senang dengan wanita lain. Entahlah. Yang jelas sekarang dia menghibur diri saja dengan menanamkan satu hal bahwa suaminya sudah meninggal.
Tiba-tiba…
“Mama, Mat lapal”
Alya tersentak ketiga tiba-tiba suara derum mobil aneh itu berhenti. Berganti dengan rengekan memilukan anaknya yang seakan sudah diduganya akan terjadi.
“Ap...apa nak?
“Mat lapal…mau makan”
Rahmat mulai menangis. Alya menjadi gugup. Ya Allah, apakah aku harus ngutang lagi? Sementara utangku sudah bertumpuk.
Alya membayangkan wajah Mak Eni janda tua pemilik kios tempatnya berlangganan mengutang sembako. Beberapa hari ini, wajah itu sudah tidak ramah. Alya langsung mengerti perubahan itu. Dia pasti menuntut utang segera dibayar. Tapi, selama ini kan aku salalu bayar tepat waktu? Alya bingung.
Alya bersyukur karena masih ada orang yang mempercayainya mengutang meski penuh dengan ketidakenakkan. Sama seperti teman-teman kerjanya di PT. Dharma Samudera yang lain yang indekost di dekatnya, mayoritas juga mengutang sama Mak Eni. Upah bulananlah yang menjadi jaminan kepercayaan. Alya tidak bisa memungkiri kalau sebagian besar upah bulanannya lari ke kantong Mak Eni, pemilik kios yang menyediakan hampir semua keperluan sehari-hari Alya dan anaknya. Selebihnya untuk bayar Tante Acing yang menjaga Rahmat kalau Alya pergi kerja.
Kadang Alya berfikir kalau hidupnya terlalu berputar-putar dan membosankan. Setiap hari dan bulannya bergulir hal yang sama. Di awal bulan terima upah kerja, lalu tak menunggu minggu uang itu sudah raip dihamburkan ke tempat-tempatnya mengutang. Ke Mak Eni dan Tante Acing lah tempat pertama yang ditujunya. Bahkan kadang tak menunggu besok, dihari dia menerima upahnya langsung saja dibayarkan utang ke orang-orang yang dianggapnya terlalu berjasa dalam hidup dirinya dan anaknya itu. Sementara di pertengahan bulan ketika uang sisa bayar utang sudah menipis, maka kegiatan mengutangpun kembali dilakoni, terutama ke Mak Eni. Biasanya di awal-awal pengutangan, Mak Eni selalu terlihat bersemangat melayani pekerja-pekerja Dharma yang datang mengutang sembako padanya. Tetapi di akhir bulan, entah karena apa dia selalu berwajah muram melayani mereka. Padahal kalau Alya pikir, bukankah tanggal tua berarti mendekati tanggal muda? Yang berarti waktu pembayaran utang sudah semakin dekat? Alya tidak tahu apa yang ada di pikiran Mak Eni. Tapi yang jelas, wanita tua itu tetap dianggap sebagai malaikat penolong ketika di tangannya sudah tidak ada goceh lagi.
Terkadang Alya berfikir ingin mencoba alur kehidupan lain yang memungkinkannya bisa meloncat lebih jauh. Masa depan anaknyalah yang selalu menjadi bahan pikirannya. Tak mungkin begini terus. Hidup gali lubang tutup lubang. Lubang yang seakan tak pernah hilang. Sampai saat ini, arah loncatannya itulah yang dipertimbangkannya. Sementara dia hanya tamatan SMA.

“Tunggu sebentar ya nak”, Alya menyeka air matanya.
Bergegas Alya mengambil kumpulan koin yang ditaruhnya di laci lemari plastiknya. Sesaat terdengar gemerincing koin ketika Alya sedang menghitung kembali jumlahnya. Tidak bertambah dan tidak berkurang, empat ratus lima puluh rupiah. Akh, uang segini apa yang bisa dibeli? Alya memutar otak. Anakku harus hidup.
“Mat mau makan apa?” Alya mencoba menanyakan selera anaknya meski perasaannya berkecamuk menanti jawaban dari mulut polos situ. Alya sudah tidak dapat menahan air matanya lagi.
Anak itu diam. Memandang wajah ibunya sambil tertegun. Seakan mengerti apa yang dirasakan ibunya.
“Nasi sama telur pakai kecap ya?” Alya langsung menebak karena itulah yang biasa disukai Rahmat. Anak itu tetap diam. Alya mengulangi pertanyaannya.
Anak itu tetap hanya memandang ibunya. Tangisnya yang tadi menjadi-jadi sudah tidak terdengar lagi sejak mendengar gemerincing koin yang dihitung Alya.
Anak itu menggelengkan kepala
“Trus, Rahmat mau makan apa?” Alya tetap bingung dengan sikap anaknya. Bukannya tadi dia menangis karena lapar?
“Mat mau makan loti aja mama”
“Roti?!... Kok roti nak? Itu tidak mengenyangkan”
“Mat mau makan loti…ga mau makan naci”, Rahmat terlihat mulai menangis lagi. Alya jadi iba.
“Baiklah nak. Mama akan beli roti untuk Mat sekarang”
Alya tak habis pikir. Kenapa anakku berubah pikiran? Apakah karena dia melihat koin sehingga dia ingin makan roti, bukannya nasi? Alya baru ingat kalau dia selalu menggunakan koin untuk membeli roti ketika Rahmat minta dibelikan roti.
Alya bangkit dan menimbang-nimbang uang koin empat ratus lima puluh rupiah di genggamannya. Harga roti perbiji limar ratus rupiah. Uang ini tidak cukup. Kurang lima puluh rupiah!
Aku harus berani berutang lagi ke Mak Eni. Dia sudah merencanakan apa yang akan diutangnya untuk menghidupi diri dan anaknya sebelum hari terima upah tiba, dua hari lagi. Dia harus mengutang beras dua liter, telur empat butir, dan roti untuk Rahmat. Bergegas Alya menuju kios Mak Eni yang hanya berjarak 10 meter dari kamar kontrakannya.
Tetapi, betapa Alya kecewa menyaksikan kios harapannya itu sudah tertutup rapat. Alya heran, kok jam segini sudah tutup? Biasanya kios ini buka sampai jam 11 malam.
Alya memberanikan diri mengetuk pintu, tak ada sahutan. Diketuknya sekali lagi.
“Mak Eni sedang pergi, ada anaknya yang melahirkan di rumah sakit. Tak ada orang di rumah itu”, Alya menoleh. Dilihatnya siapa yang berbicara, ternyata tetangga sebelah kanan rumah Mak Eni yang melongok dari pintu rumahnya.
“Oh ya. Kapan kira-kira baliknya?” Alya merasa harus tahu kapan Mak Eni pulang. “Tidak tahu juga ya? Soalnya melahirkannya operasi katanya.”
“Oh. Kalau begitu permisi pak. Terima kasih”
Alya melangkah gontai meninggalkan kios itu. Bagaimana dengan anakku?
Alya melirik koin di genggamannya. Dia akan menuju kios Bu Dina yang terletak agak jauh dari kamar kostnya. Bu Dina yang terkenal pelit dan kurang ramah melayani pembeli tak akan mungkin menerima uang kurang meski cuma lima puluh rupiah. Malah dia tak segan-segan akan mendamprat pembeli kalau uang kurang atau uangnya terlalu lusuh. Alya sudah pengalaman menyaksikan temannya yang belanja di warung Bu Dina yang menerima ocehan pedas dari mulut Bu Dina hanya karena uangnya kurang seratus rupiah. Katanya: Jangan membeli kalau tidak punya uang, dasar buruh ikan. Kerjanya cuma ngutang.
Alya terus memeras otak, paling tidak bagaimana harus memenuhi keinginan anaknya untuk makan roti yang akan dibelinya di warung Bu Dina.
Tiba-tiba Alya langsung teringat kalau beberapa hari yang lalu dia melihat ada koin seratus rupiah di bawah jemuran pakaiannya. Semula akan dipungutnya, tetapi dia jijik melihat koin itu terletak persis di atas tai ayam yang masih segar. Aku harus mengambilnya sekarang.
Alya memutar langkah menuju kamar sewaannya kembali. Diintipnya dari jendela, anaknya kembali bermain mobil-mobilan meski suara derum mobil dari mulutnya sudah tidak senyaring tadi. Anak itu sudah biasa ditinggal sendiri, sehingga ketika Alya pamit meninggalkannya tadi dia mengangguk saja.
Semoga belum ada yang memungutnya. Di bawah sinar rembulan yang remang-remang, Alya menuju bahwa jemuran terdapatnya koin beralas tai ayam yang kini menjadi harapannya.
Dari kejauhan kilau koin tampak menonjol di tengah tanah di sekitarnya yang berwarna coklat. Alya mengambil ranting kecil lalu mengeluarkan koin itu dari peraduannya yang tampaknya akan abadi kalau Alya tidak mengeluarkannya. Tai ayam yang beberapa hari yang lalu masih segar kini sudah mengering sehingga Alya sudah tidak sejijik waktu pertama kali melihatnya beberapa hari yang lalu.
Setelah koin keluar, Alya mengoreknya menggunakan ranting lain hingga bersih. Tak cukup sampai di situ, dibawanya koin itu menuju sumur tempatnya biasa mengambil air. Lalu dicucinya hingga bersih. Kini koin itu siap digabung dengan koin lain untuk pembeli roti Bu Dina yang dinanti anaknya. Alya tersenyum di keremangan malam. Besok aku akan ngutang beras dan telur. Terakhir di bulan ini.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar